Menyongsong Pagelaran Kebangkitan Pancasila
Jakarta 29 Juli 2023
Nusantara, sejatinya adalah kata yang mengandung energi magis semesta. Ia membawa kita merentangkan memori kita nun jauh ke belakang, melampaui era 1945 dan 1928 yang menjadi tonggak penting bagi bangsa kita. Kata ini menyadarkan kita bahwa di dalam DNA kita putra-putri Indonesia, tersandikan semangat keagungan dan kejayaan dari masa silam. Sebagai satu bangsa, kita telah mengada sangat lama – bukan sekadar berusia 78 tahun dengah merujuk pada Proklamasi Kemerdekaan, bukan juga sekadar 95 tahun dengan merujuk pada Sumpah Pemuda.
Nusantara adalah kata yang mewakili kesatuan tanah dan air, kesatuan politik dan kebudayaan, saat kita menjadi Majapahit, Singasari, Kahuripan, Sriwijaya, Mataram, Kalingga, dan seterusnya. Nusantara adalah semangat yang digaungkan oleh oleh Sri Kertanegara, Sang Raja Agung dari Singasari yang dilanjutkan oleh Mahapatih Gajah Mada. Prasasti Mula Malurung menegaskan rumusan Cakravala Mandala Dvipantara: gagasan agung tentang kesatuan pemerintahan dari kerajaan maritim di Asia Tenggara yang berpusat di kawasan Indonesia saat ini. Kata Nusantara juga dipopulerkan oleh Ki Hajar Dewantara, tokoh pergerakan kebangsaan yang mendirikan Perguruan Taman Siswa dan menjadi Menteri Pendidikan pertama untuk Republik Indonesia.
Satu hal hendak ditegaskan, dengan bicara tentang Nusantara, ada keagungan yang hendak dibangkitkan kembali. Sejak Sandyakala Majapahit di abad 15, bangsa kita belum mencapai performa puncak secara spiritual, seni budaya, teknologi, ekonomi maupin politik. Beragam upaya patriotik telah dilakukan, oleh Panembahan Senopati yang mendirikan Mataram Baru di permulaan abad 17, juga oleh Bung Karno dan para founding fathers Indonesia di pertengahan abad 20. Namun rekonstruksi keagungan Nusantara memang belum berhasil dituntaskan, meski di rentang 1955-1962 Indonesia sempat menjadi negara Asia yang disegani dunia.
Kini, tak perlu sungkan kita mengatakan bahwa negara-bangsa kita ada di titik persimpangan yang menggelisahkan. Kita benar-benar jauh dari rumusan Trisakti yang dikumandangkan Bung Karno: Berbudaya sesuai jatidiri, berdikari secara ekonomi dan berdaulat secara politik.
Riset yang jujur pasti akan menguatkan penilaian ini: lihat saja bagaimana tingkat penghayatan Pancasila, lihat juga tingkat impor pada komoditas agro seperti beras, gula dan daging sapi; lihat juga pengaruh kekuatan neoliberal dan oligarki dalam proses politik dan pembentukan konstitusi di negara kita saat ini.
Tapi, jelas bahwa tiada malam yang tak berujung. Selalu ada masa dimana fajar menyingsing dan sinar terang matahari merekah. Segala kesulitan adalah pemicu bagi putra-putri Nusantara untuk menumpahkan semangat patriotik dan merealisasikan jiwa ksatria yang paling murni.
Saya mengajak Anda untuk berkarya bersama mengembalikan keagungan Nusantara. Nyalakan Api Pancasila di sanubari. Hiduplah dengan harapan yang menggelora tentang Indonesia Surgawi yang bisa kita wariskan pada anak cucu kita.