Dari Zurich, saya naik kereta api selama beberapa puluh menit ke Luzern. Saya tahu kota ini dari dunia sepakbola: pesepakbola asal Magelang yaitu Kurniawan Dwi Yulianto dulu pernah jadi pemain di FC Luzern.
Tentu saja saya bukan mau jadi pesepakbola juga di Luzern. Saya memang tidak berhasil jadi pemain sepakbola hebat, meski dulu satu SSB di Kota Magelang dengan Kurniawan Dwi Yulianto. Jadi bintang sepakbola bukan jatah saya.
Tapi jatah saya tetap jadi bintang; saya salah satu bintang di dunia spiritual saat ini, baik pada skala Indonesia maupun dunia. Apa buktinya? Bukti sederhana, banyak yang nggosipin saya, tiap hari, berminggu-minggu, ada yg bertahun-tahun, betapa nama saya sangat melekat di pikiran mereka. Hi hi hi.
Saya mengikuti gerak semesta untuk datang ke Luzern. Dari Stasiun Sentral Luzern saya berjalan kaki menuju Kota Tua Luzern, melewati jembatan kayu yang eksotis. Sebelumnya saya sempat mampir ke gereja tua di dekat stasiun dan bermeditasi di situ selama beberapa saat.
Di Kota Tua Luzern, saya menyusuri jalanan mengikuti kata hati karena saya juga sebenarnya tidak tahu mau kemana. Sambil saya memperhatikan orang lalu lalang: orang-orang Swiss sudah dimerdekakan dari kopit, di jalanan, resto, mereka bebas bernafas dan menunjukkan wajah ganteng dan cantik mereka.
Hanya di transportasi publik masih ada kewajiban bermasker, itupun formalitas tanpa sanksi tegas. Saya lihat para polisi di jalanan juga tidak pakai masker. Sudah waras dan biarlah makin waras.
Lalu apa yang saya dapatkan di Luzern? Saya melaksanakan apa yang saya sebut dengan Cosmic Meeting.
Ini berarti saya duduk hening cipta, di tempat yang sesuai dengan petunjuk semesta. Kali ini di satu restoran bernuansa kebun, di dekat Gerja St. Laudegar. Dalam hening saya terhubung dengan banyak jiwa agung termasuk mereka yang saya kenali sebagai para immortal; kita bertemu di frekuensi kasih murni.
Inilah realitas kehidupan saya yang multidimensi; sebagian orang akan menilai saya terjebak halusinasi. Tapi layakkah kata itu disematkan kepada orang keren kayak saya? Jelas tidak.
Sebenarnya, kasus yang saya sampaikan ini, tentang kehidupan multidimensi ini, mirip dengan orang di masa lalu yang bisa berkomunikasi dengan malaikat, para dewa dewi, dan semacamnya. Hal demikian tak bisa diverifikasi secara empirik. Hanya jika kita bisa gunakan rasa sejati, kebenarannya bisa tersingkap.
Yang tidak bisa menyaksikan ya akan ada di posisi percaya atau tidak.
Saya jelas tidak memaksa Anda percaya pada apa yang saya sampaikan. Tapi jika Anda adalah murid saya, renungkan dua hal: pertama, saya telah mengajari hening dan menggunakan rasa sejati agar bisa tahu kebenaran secara utuh; kedua, kapan saya pernah menipu dan memnipulasi Anda? Ada yang pernah mengalami jadi korban penipuan dan manipulasi saya? Sejak saya berrtransformasi pada 2019, yang naksir baik terang-terangan ataupun tersembunyi tapi gak saya ladeni sih banyak hi hi hi.
Demikian juga yang jadi fans dengan beragam motif. Sebelum tahun itu saya adalah orang cerdas, baik hati, culun, yang justru sering dikerjain orang. Saya gak pernah jadi penjahat, cuma dulu sering salah melangkah karena belum tahu sepenuhnya tuntunan Gusti.
Keterbukaan pikiran dan hati Anda, juga kejujuran pada diri sendiri, sungguh penting untuk menerima pesan ini:
“Nujuman profetik Nostradamus tentang The Man from East, adalah kebenaran yang segera ternyatakan.
Para Satria Piningit semakin banyak bermunculan, dipimpin oleh inkarnasi Hyang Wisnu yang di jidatnya ada tanda Trisula Weda.
Kerajaan Surga di Bumi bukanlah khayalan. Itu pasti terjadi. Alih-alih mengalami kehancuran, peradaban di Bumi justru bergerak menuju tatanan baru dengan fondasi kebenaran sejati, ditopang oleh
pilar berupa orang-orang yang berhati murni.
Para Immortal, para Ksatria Cahaya termasuk dari planet lain, bersatu padu dan menegaskan komitmen untuk memastikan Bumi Surgawi menjadi kenyataan.”
Ada di posisi manakah Anda? Pembenci, penonton atau pejuang?