Skip to main content

Sebelum Presiden Trump dilantik, dunia penuh dengan misinformasi dan disinformasi tentang fakta-fakta perang Ukraina-Rusia. Walaupun Rusia sudah menyuarakan fakta-fakta, namun propaganda bahwa Rusia adalah pihak yang jahat, jauh lebih kuat. Istilah “boneka kremlin” (kremlin puppet), “di back up Moscow” (Moscow back up), “Putin adalah setan” (Putin is evil), dan banyak lagi adalah pendapat yang umum dan dibenarkan banyak orang waktu itu.

Setelah Presiden Trump dilantik, sisi lain dari perang Ukraina-Rusia mulai terkuak. Fakta-fakta yang tadinya masih samar mulai semakin jelas dan diakui oleh Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Trump. Contohnya adalah:

Sebelumnya, pemimpin Barat tidak mengakui bahwa perang Ukraina-Rusia adalah perang proksi. Perang ini bukan perang proksi tapi melawan agresi atau aneksasi Rusia ke Ukraina. Faktanya, ini adalah perang proksi antara barat dan Rusia. Perang proksi, artinya perang antara kekuatan besar dimana kekuatan besar itu sendiri tidak terlibat. Artinya Ukraina hanya dijadikan sebuah alat perang yang lebih besar yaitu AS (waktu itu) + Uni Eropa (ditambah Inggris dan Kanada) melawan Rusia.

Supaya mau dijadikan alat, Ukraina didukung oleh Barat habis-habisan. Tapi hal ini akhirnya dibantah oleh pemerintah Trump, lewat menteri luar negeri Marco Rubio, bahwa apa yang dilakukan AS zaman Joe Biden adalah perang proksi, dan sekarang semakin jelas ketika AS mengancam tidak lagi membantu Ukraina, Uni Eropa segera meningkatkan bantuan ke Ukraina.

Rusia menyerang Ukraina tanpa sebab yang jelas dan ini mengancam Eropa atau NATO. Pernyataan ini yang digaungkan saat itu dan mengisolasi “operasi militer spesial Rusia” pada Februari tahun 2022 saja. Faktanya, sekarang membuktikan bahwa AS dan NATO setelah perang dingin berakhir (1990) berjanji bahwa NATO tidak akan menjadikan negara-negara ex-Soviet menjadi NATO.

Namun faktanya juga, negara-negara ex-Soviet pelan-pelan menjadi anggota NATO. Barat mengatakan bahwa perang Ukraina tidak ada hubungannya dengan ekspansi negara NATO. Barat ingin agar Ukraina menjadi bagian dari NATO yang ditentang oleh Rusia (sebagian daratan Ukraina adalah rakyat yang berbahasa Rusia).

Ini seperti kejadian di Cuba tahun 1960an ketika Soviet ingin memasang rudal dan ditentang oleh AS dan hampir menjadi Perang Dunia III waktu itu. Hal yang sama terjadi, menjadikan Ukraina bagian dari NATO adalah ancaman serius terhadap eksistensi Rusia. Pemerintah Presiden Trump mengerti ini dan kemudian mengatakan bahwa Ukraina tidak akan menjadi anggota NATO. Alasan utama AS menjadikan negara-negara ex-Soviet bergabung dengan NATO adalah agar negara-negara tersebut membeli senjata dari AS (terkunci dengan senjata dari AS) dan ini akan meningkatkan industri militer AS yang dimiliki oleh investor besar seperti Blackrock.

Rusia adalah ancaman terhadap Uni Eropa (EU). Pernyataan ini ditanamkan ke dunia lewat propaganda yang masif, sistematik, terstruktur. Hal ini dilakukan melalui media mainstream dengan melakukan disinformasi dan misinformasi. Hal ini penting bagi EU agar negara-negaranya punya “musuh bersama” untuk bersatu. Tanpa keyakinan ini, negara-negara EU yang rawan perbedaan akan runtuh persatuannya. Apapun yang dinyatakan oleh Putin akan dianggap salah dan dan kemudian disensor.

Penyensoran adalah kata lain dari “menjaga dari misinformasi dan disinformasi.” Faktanya, yang melakukan expansi ke arah Rusia adalah NATO, bukan Rusia. Dan ini dinyatakan oleh wakil Presiden AS, JD Vance di Konferensi Keamanan di Munich bulan lalu. “The threat that I worry about the most about vis a vis Europe is not China, Russia or any other external actor, it is the threat from within”.

(Ancaman yang saya kuatirkan bagi Eropa buka China atau Rusia, atau faktor external tapi adalah ancaman dari dalam sendiri). Reaksi terhadap pernyataan keras AS ini, EU ingin tetap mempertahankan “nilai demokrasi versi Eropa” yang penuh penyensoran berita demi kepentingan penguasa. EU akan runtuh bila “narasi Rusia Jahat” hilang begitu saja.

Rusia tidak ingin perang dengan Ukraina berakhir. Ini adalah propaganda yang digaungkan juga. Selain itu propaganda lainnya adalah, setelah menguasai Ukraina, maka Rusia akan menyerang negara-negara Eropa lainnya. Faktanya, Ukraina lah yang tidak ingin perang berakhir. Bila perang berakhir, maka 20% Ukraina dikuasai oleh Rusia. Presiden Zelensky akan kehilangan mukanya di hadapan rakyatnya sendiri.

Seandainya Zelensky mau menandatangani perjanjian Istanbul April 2022, maka Ukraina tidak akan kehilangan teritorinya. Keputusan Zelensky untuk mengikuti bujukan Barat melalui PM Inggris Boris Yetsin, mengakibatkan Ukraina kalah perang. Belum lagi Zelensky menghadapi tekanan Pemilu yang ditunda sejak tahun lalu.

Bila perang berakhir (dengan kekalahan di pihak Ukraina) dan pemilu dilakukan, Zelensky akan kehilangan segalanya. Peristiwa di ruang Oval, Gedung Putih menunjukkan bahwa Zelensky tidak ingin perang berakhir. Dan sayangnya hal ini didukung negara-negara EU (kecuali Hungaria). Presiden Trump dengan jelas menyatakan bahwa Rusia ingin perang berakhir dengan perdamaian berkelanjutan (long lasting peace). Bukan hanya gencatan senjata sementara dan kemudian terjadi konflik lagi.

Kita berada di era dimana perang informasi menjadi sangat penting. Opini yang sudah lama tertanam perlu waktu untuk bisa terbongkar. Kepemimpinan Presiden Trump telah membuka lembaran baru. Presiden Trump mulai menguak fakta dengan memberi informasi yang benar ke publik, yang diharapkan akan memberi kontribusi besar atas perdamain dunia.

Eko Nugroho
Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia

Referensi:

1) https://x.com/7744St/status/1897726814422024385

2) https://x.com/mylordbebo/status/1895762458096386322?s=46

3) https://x.com/BRICSinfo/status/1889798453632671973

4) https://x.com/MavenPolitic/status/1890418063213731972

5) https://x.com/LibertyLockPod/status/1896661483561611637

Seni Hidup

Peradaban Matahari

Setyo Hajar DewantoroSetyo Hajar Dewantoro24 Januari 2025

Leave a Reply