3 malam di Hanoi, 3 malam di Ho Chi Minh, 3 malam di Phnom Penh, 2 malam di Siem Reap, lalu hari ini 14 Oktober 2024, saya ke Ho Chi Minh lagi. Sudah 11 malam saya berkelana di Vietnam dan Kamboja yang ada di kawasan IndoChina.
Untuk apa perjalanan ini? Apakah ada yang menarik di Vietnam, Kamboja dan IndoChina pada umumnya?
Vietnam jelas layak disebut sebagai salah satu negara di Asia yang mengesankan kemajuan ekonominya. Tak butuh waktu lama negara ini bangkit dari keterpurukan akibat Perang Indochina yang baru beres di kisaran 1980. Negara ini sangat maju manufaktur dan pertaniannya; bahkan Indonesia import beras dari Vietnam. Mereka punya mobil nasional bernama Vinfast. Mereka juga mau bangun proyek kereta api cepat senilai 1000 T rupiah dengan modal sendiri. Saya dengar cerita dari Dubes RI untuk Vietnam, Uda Denny yang asli Minang saat ditanya Pak Jokowi yang masih jadi Presiden, “Apa yang dimiliki Vietnam dan tak dimiliki Indonesia?” “Kesungguhan, keseriusan.” Jawaban lugas yang sebetulnya menohok. Saya saksikan mentalitas serius/sungguh-sungguh ini memang ada pada pemerintah dan rakyat Vietnam.
Sementara itu Kamboja juga bergerak membangun negerinya setelah mulai mengalami stabilitas politik semenjak ada rekonsliasi antara Norrodom Sihanouk dan Hun Sen, dua tokoh utama panggung politik Kamboja di era 1980 hingga 2010-an. Kini kekuasaan Kamboja ada di tangan anak-anak dari dua tokoh ini, putra Norrodom jadi Raja sementara putra Hun Sen jadi Perdana Menteri.
Saya takjub dengan apa yang saya lihat di Phnom Penh: kota ini betul-betul jadi kota metropolitan yang tertata rapi. Mereka telah keluar dari trauma perang saudara dan genosida yang memakan korban hingga 2 juta orang dan dituduhkan kepada Pol Pot, pemimpin kelompok komunis Khmer Merah di era 1970an. Entah kebenarannya seperti apa karena perang saudara di Kamboja juga melibatkan Vietnam dan Amerika Serikat. Narasi sejarah modern hampir tidak pernah menyebut AS bertanggung jawab atas tragedi di berbagai negara padahal mereka terlibat perang dan banyak didemo oleh rakyatnya sendiri.
Di Phnom Penh, banyak gedung tinggi menjulang, tapi tak ketinggalan taman yang asri dan bangunan dengan ciri khas arsitektur khas Kamboja. Sementara Siem Reap jelas menjadi kota turis yang sangat hidup dengan banyak hotel bintang 5. Tentu tantangan bagi Kamboja adalah soal pemerataan. Perjalanan darat dari Phnom Penh menuju Siem Reap membuat saya melihat kawasan lain yang belum tersentuh, seperti saya melihat kecamatan terbelakang di Indonesia. Yang pasti dukungan China di Kamboja sangat kuat, mereka membangun bandara dan infrastruktur lainnya. Kamboja adalah negara di Asia Tenggara selain Laos yang mendapatkan tetesan berkah kemajuan dari China. Peran China dalam pembangunan ekonomi di dua negara ini sangat signifikan; setidaknya demikianlah yang saya temukan dalam kunjungan saya. Laos saya kunjungi beberapa bulan lalu dan saya sempat cicipi kereta cepat yang dibangun China, dari Vientiane ke Luang Prabang.
Secara spiritual, atau pada tataran energi, sejauh yang saya bisa tangkap, ada hubungan kuat antara kawasan IndoChina dan Eropa. Tentu ini bukan semata-mata karena perkala kolonialisme dimana Perancis permah menduduki IndoChina dan memberi jejak pengaruh kultural yang kuat, bisa dilihat di Luang Prabang, Da Nang, dan Kep. Jalur energi itu soal lain yang tidak ada hubungannya dengan kolonialisasi.
Saya sedang dalam missi kosmik menghubungkan energi Asia dan Eropa: menata energi Eropa dengan cahaya dari Timur (kesadaran spiritual murni yang munculnya di Asia). Ada kekuatan yang harus bergerak kembali dari Barat ke Timur, lalu dari Timur muncul gerakan kesadaran spiritual yang mondial untuk membangunkan kesadaran warga Eropa dan seluruh warga di berbagai benua lainnya. Ini adalah tentang pergerakan menuju Bumi Surgawi: tatanan dunia baru yang penuh harmoni, kedamaian, keselamatan, kebahagiaan.
Maka, saya harus berada di mandala atau epicentrum energi yang ada di Vietnam dan Kamboja. Di mandala-mandala inilah saya hening cipta, menyelaraskan energi di kawasan yang saya kunjungi itu dengan melebur cengkraman kuasa kegelapan dan mengaktivasi energi purba yang lama tertidur. Lalu saya memancarkan energi penyelarasan ke Barat dan penjuru Bumi lainnya. Inilah cara kerja meta rasional, menata dunia dengan kekuatan adikodrati. Pelakunya haruslah yang maestro dalam keheningan, murni jiwanya, sehingga bisa menjadi wahana bagi bekerjanya beragam kategori kekuatan adikodrati. Ini juga tentang penyatuan antara kekuatan manusia dengan kekuatan keberadaan yang tak terlihat: para penjaga kesetimbangan yang immortal, yang saat ini hanya dikenali sebagai bagian dari mitologi seperti Pegassus, Naga Basuki, Phoenix, dan semacamnya.
Demikian cerita sementara saya dari perjalanan ke kawasan IndoChina yang belum berakhir ini – karena hingga artikel ini dibuat saya belum boleh pulang ke Indonesia.