Skip to main content

INDONESIA MERCUSUAR DUNIA: Oleh-oleh Kesadaran dari Kupang, Nusa Tenggara Timur

Sebelum kita bicara serius dengan topik berat, kita bicara yang ringan-ringan dulu. Kita bahas kuliner. Di Kupang ada dua hidangan yang terbilang khas: sei sapi dan sei tuna. Yang ketiga, sei babi gak saya bahas karena saya gak memakannya. Sei Sapi yang disajikan dengan hotplate saya nikmati di Resto Tanjung di Jalan Timor Raya. Sementara Sei Tuna saya nikmati di 999 Resto & Bar di tepian pantai, di pusat kota Kupang. Sei ini adalah hidangan berbahan baku yang diasap lalu dipotong-potong kecil.

Di 999 Resto & Bar saya tak hanya menikmati Sei Sapi lalu segelas kopi susu, saya mencermati suasana sekeliling dan mengheningkan cipta. Ada bangunan mercusuar di sampi resto, tepat di kawasan muara kecil yang terhubung ke Laut Sawu. Saya datang ke tempat ini karena demikianlah titah Gusti yang muncul ke relung hati. Sehingga kunjungan ke tempat ini bukan sekadar wisata kuliner tapi mencakup juga penunaian tugas kosmik. Tugas kosmik ini adalah hening cipta, penyelarasan energi, sekaligus menempatkan diri dalam momentum pembelajaran dan peningkatan kesadaran. Memang demikian cara saya untuk tak mengalami stagnasi dalam perjalanan spiritual.

Melihat mercusuar membuat saya langsung merenungkan gagasan Indonesia Mercusuar Dunia. Apakah ini adalah cita-cita yang realistik? Atau sekadar jargon politik yang berlebihan?

Di masa lalu, saat kita dikenal sebagai bangsa Nusantara/Dwipantara, saat belum menjadi republik tapi masih sebagai kerajaan yang dikenal sebagai Majapahit, Singasari, Kediri, Kahuripan, Sriwijaya, Mataram, Kalingga dan seterusnya, memang kita adalah mercusuar dunia. Kita adalah penunjuk arah, kita memberi terang, kita memberi inspirasi, kepada bangsa-bangsa lain untuk menuju peradaban surgawi. Kita adalah bangsa dan negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja. Kita menjadi mercusuar dunia karena punya keunggulan dalam spiritualitas, seni, teknologi, politik dan ekonomi. Kita bukan bangsa animis-dinamis yang tak mengenal Tuhan, bukan pula bangsa barbar yang terbelakang. Secara spiritual kita adalah bangsa yang menghayati “Ketuhanan yang Maha Esa” dengan prinsip terapan yang masyhur hingga saat ini: “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mengruwa”. Candi yang megah, dan artefak yang pernah saya lihat sendiri: patung-patung kuna yang indah berbahan emas, perunggu dan tembaga, adalah pembuktian empiris tentang keagungan Nusantara di masa silam. Kita juga bisa mengengok hasil riset tentang kesejahteraan bangsa Nusantara oleh rempah, juga kemajuan di sektor kemaritiman.

Dalam sudut pandang spiritual, bangsa Nusantara kuna memang punya Level of Consciousness yang terbilang tinggi dengan keberadaan para Raja/Ratu yang tercerahkan sebagai lokomotifnya. Saya coba ukur LoC kolektif secara rata-rata semenjak berbagai kerajaan ini terbentuk hingga dianggap surut. Inilah yang saya temukan:

Majapahit 190
Singasari 170
Kediri 160
Kahuripan 200
Sriwijaya 170
Mataram 150
Kalingga 140

(Skala 0-1000 sesuai formulasi LoC dari SHD)

Sebagai pembanding, LoC kolektif Indonesia di 1999 awal adalah 20, dan di 2015 awal adalah 30. Sementara LoC kolektif negara-negara yang dianggap sejahtera di permulaan 2024:

Finlandia 140
Denmark 130
Swiss 120
Russia 110

Sementara LoC kolektif Indonesia di permulaan 2024 adalah 60 – ini terangkat oleh orang-orang yang mulai menekuni spiritualitas murni dan ada beberapa orang Indonesia yang tercerahkan/berjiwa murni.

Maka, cita-cita Indonesia menjadi Mercusuar Dunia hanya akan menjadi nyata jika berjalan Revolusi Spiritual, Revolusi Kesadaran, Revolusi Kebudayaan atau Revolusi Mental yang sesungguhnya. Dalam bahasa lain, harus ada cukup orang yang benar-benar bisa menyalakan Api Pancasila di dalam dirinya.

Untuk menjadi Mercusuar Dunia tak hanya membutuhkan jaringan jalan tol dan kereta api di semua pulau, bendungan maupun pembangkit tenaga listrik yang ramah lingkungan. Kita memang harus kembali kepada karakter sebagai bangsa Nusantara yang agung, yang berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu dalam keragaman budaya, dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bergotong royong dan berkeadilan sosial. Butuh peta jalan yang detail untuk kemudian dilaksanakan untuk menghidupkan kembali jalur rempah, jalur herbal, jalur mineral, jalur kemaritiman dan pendidikan yang khas Nusantara.

Ini adalah kerja raksasa dan hanya bisa dijalankan para ksatria dan negarawan yang patriotik, berhati murni, tulus dalam berkarya, sekaligus jenius.

Tapi peganglah satu hal: visi agung yang telah ditunjukkan oleh semesta cara merealisasikannya, hanya menunggu momentum untuk menjadi nyata. Dan momentum pasti datang pada siapapun yang telah berjuang sepenuh hati memberikan yang terbaik.

Spirit Of Saigon

Selengkapnya

Retreat Sendiri

Selengkapnya

Saya memang pengembara. Lewat pengembaraan ke berbagai belahan dunia

Saya belajar tentang banyak hal sekaligus menunaikan tugas menyelaraskan energi di Planet ini yang seringkali memang kacau balau akibat angkara murka manusia