Anugerah datang dalam beragam bentuknya. Kali ini saya diperjalankan ke Pulau Belitung lalu Pulau Bangka, dua tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya. Di dua pulau ini masing-masing ada murid saya, warga Persaudaraan Matahari. Maka dalam kunjungan yang singkat, masing-masihg cuma semalam, saya berkesempatan menelusuri beberapa titik yang membuat saya tertegun. Belitung dan Bangka punya pantai yang sangat indah. Di Belitung saya menikmati keindahan Tanjung Tinggi sekitar 30 menit dari Kota Tanjung Pandan Kabupaten Belitung. Saya juga sempat ke Belitung Timur, singgah di Air Kelik hingga Manggar.
Sementara di Bangka saya berkunjung ke Pantai Kata’k sekitar 40 menit dari Kota Pangka Pinang ibu kota Provinsi Bangka Belitung. Tentu saya sempatkan berkeliling di Pangkal Pinang.
Memperhatikan pantai di masing-masing pulau, terutama dua pantai yang saya kunjungi, kata-kata inilah yang terucap, “Indah! Mengagumkan!”
Di Pantai Tanjung Tinggi kita bisa saksikan tumbukan batu-batu raksasa yang entah kapan dan dengan cara apa mereka mengada. Sementara Pantai Kata’k dengan air laut yang membiru, lanscapenya sangatlah memanjakan mata. Indonesia memang tak kekurangan kawsan surgawi; tanah ini memang tanah surga.
Tapi Bangka dan Belitung tak hanya punya pantai yang indah. Di sana ada Timah -plus tentu saja mineral ikutannya yang disebut logam tanah jarang (rare earth), dan berpusat di Muntok, Bangka adalah penghasil lada, salah satu rempah andalan Nusantara kuna.
Saya merenungkan betapa negeri kita ini, Republik Indonesia yang kita cintai, sebenarnya tak layak masih punya banyak warga miskin. Kita ini negeri yang kaya dengan sumber daya: kita sebenarnya bisa jadi negeri yang makmur dengan mendayagunakan potensi pariwisata, pertambangan maupun rempah-rempah. Ketika kenyataaannya berbeda, berarti kita punya pekerjaan rumah luar biasa.
Di Belitung, aktivitas pertambangan Timah tak lagi seperti dulu. Yang cukup banyak kita bisa temukan adalah perkebunan sawit yang tentunya dipegang korporasi besar. Mayoritas lahan terlebih yang dimiliki rakyat jelata, belum terdayagunakan alias menganggur. Tampaknya tak banyak yang punya ide untuk mengembangkan pertanian di Belitung. Di Bangka yang secara ekonomi tampak lebih maju, juga banyak lahan yang belum terdayagunakan. Tapi banyak juga lahan eks galian Timah yang belum dipulihkan, dari pesawat tampak sangat jelas banyak kawasan yang botak dan memutih di tengah-tengah hutan dan perbukitan. Saya tak hendak bicara gonjang ganjing Timah di banyak media, yang dianggap merugikan negara hingga 271 trilyum.
Di tulisan ini saya hendak berfokus pada perenungan: alangkah asyiknya jika kita bisa berbuat sesuatu semisal dengan mengembangkan pertanian ramah lingkungan, sembari menghidupkan kembali posisi Bangka sebagai pusat lada dunia.
Tentu saya pasti menindaklanjuti renungan ini. Segera disiapkan serdadu sigma farming untuk berbagi pengetahuan pertanian kepada mereka yang terpanggil di Belitung dan Bangka.
Demikian sekilas cerita terbaru. Soal kuliner, kalau berkunjung ke Belitung cobalah nikmati Kepiting Asapnya. Di Bangks jangan lupa sop ikan rempah kuning. Kalau tentang ranah metafisika, cukuplah saya sampaikan bahwa yang saya kerjakan adalah “mengaktivasi kembali” mandala atau pusat energi kuna di dua pulau itu. Kenapa selama ini dorman? Ya karena sulit menemukan orang yang mau konsisten hening dan punya koneksi kuat dengan mandala-mandala itu.
Biarlah langkah demi langkah yang dituntun Gusti, mengarahkan pada kebangkitan kesadaran secara kolektif: kita bersama-sama tergerak untuk hening dan beraksi memulihkan dan melestarikan tanah surgawi.
Terima kasih untuk Pak Sanny yang telah menemani saya di Bangka, dan Kang Dudung beserta istri yang menemani di Belitung.