Skip to main content

Memang banyak bukti untuk menyatakan bahwa bangsa Nusantara (yang sejak momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dikenal sebagai bangsa Indonesia) benar-benar pernah jaya, pernah mencapai keadaan gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerja raharja. Keberadaan candi-candi yang megah mengindikasikan bangsa Nusantara ada dalam taraf kemajuan secara spiritual, estetika, ekonomi, politik dan teknologi. Apalagi jika kita mempertimbangkan beragam artefak yang masih bisa dijumpai hingga saat ini; patung-patung dari emas dan perunggu, keris berbahan baku logam dan meteorit, hingga beragam wastra Nusantara. Kemajuan maritim dari bangsa Nusantara di masa lalu juga terindikasikan oleh keberadan Jung Java/Jung Majapahit.

Kejayaan itu memudar sejak abad 15 M. Hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai usia yang ke-79, kejayaan kembali bangsa Nusantara belum pernah kembali terjadi pada tataran yang sepadan dengan pencapaian di era Majapahit, Sriwijaya, Singasari, Kahuripan dan seterusnya. Meski di abad 17 Panembahan Senopati bersama koleganya coba membangun kembali Mataram yang dicita-citakan sebagai pelanjut keagungan Majapahit. Demikian juga Bung Karno dan para koleganya belum kesampaian membangkitkan kejayaan itu meski di tahun 1955 sanggup menggelar Konferensi Asia Afrika yang megah dan kolosal.

Masih adakah peluang di abad 21 ini untuk merealisasikan cita-cita bangkitnya kembali kejayaan Nusantara? Ini pertanyaan yang tak mudah dijawab meski banyak pihak menggaungkan jargon bangkitnya kembali kejayaan Nusantara.

Yang pasti, kejayaan kembali Nusantara dalam arti Indonesia benar-benar menjadi negeri yang maju bahkan adidaya, atau bisa menjadi mercusuar dunia, tak akan sesederhana banyaknya orang yang kembali berbudaya dan berspiritual ala Nusantara dengan melepaskan “agama import”. Untuk mengerti bahwa upaya membangkitkan kembali kejayaan Nusantara haruslah berangkat dari pengertian seberapa jauh kesenjangan tingkat kesejahteraan dan kebahagiaan antara Bangsa Indonesia saat ini dengan Bangsa Nusantara saat berbentuk Kerajaan dan dipimpin Tribuwana Tunggadewi. Bagaimana taraf kemajuan teknologi saat ini berbanding di masa lalu, dikomparasikan pula dengan negeri lain. Jika mau memasukkan elemen tingkat kesadaran bisa dikomparasikan LoC kolektif saat ini dengan LoC kolektif di masa tercapainya kemajuan yang paling mengesankan. Tentu saja kita juga harus menilai dengan presisi tingkat keberdikarian ekonomi dan kedaulatan politik antara saat ini dan masa lalu. Jangan lupa melihat komparasi kualitas lingkungan hidup di saat ini dan di masa lalu.

Yang pasti, di saat ini, di usia 79 tahun sebagai Indonesia merdeka, kita punya banyak tantangan yang nyata:
Kualitas lingkungan sangat terdegradasi akibat deforestasi yang tak hanya menghilangkan hutan tropis, hutan mangrove, dalam skala massif, tapi juga menghilangkan banyak mata air, plus membuat kualitas udara juga terdegradasi.
Pertumbuhan ekonomi memang positif, di kisaran 5%, tapi harus diketahui dengan presisi kekayaan tambang dan migas kita lebih banyak mengalir kepada siapa, asset berupa tanah dan hutan siapa yang menguasai, bagaimana dengan sektor pertanian yang mestinya menjadi pilar kesejahteraan, tapi malah di sektor ini kita malah banyak mengimpor?

Apakah kita benar-benar punya kedaulatan? Atau kedaulatan itu hanya mimpi karena kita sesungguhnya takuk kepada oligark global dan pemerintahan negara lain?

Butuh riset yang mendalam untuk mendapatkan jawaban tepat. Tapi hipotesis saya adalah Kebangkitan Kejayaan Nusantara ini masih jauh dari realisasi meski tanda-tandanya telah mulai ada. Kita punya pekerjaan besar untuk membangkitkan Indonesia pada keseluruhan ranah ipoleksosbudhankam. Jika kita masih bertahan dengan “pola berbangsa bernegara” seperti saat ini tentu saja kejayaan kembali Nusantara akan terus jadi mimpi tanpa pernah tercapai. Jelas kita butuh terobosan agar setidaknya kita bisa mulai merealisasikan prinsip Trisakti; Berbudaya sesuai jatidiri, berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik.

Di masa Tribuwana Tunggadewi (Majapahit), skor kita di 3 aspek itu adalah 9, 9, 10. Saat ini skornya adalah 0,5, 1, 0,5. Kita butuh LONCATAN, dimulai dengan bangkitnya kepemimpinan yang sanggup merealisasikan prinsip Trisakti. Pertanyaannya, bisakah sistem demokrasi liberal yang kita anut sekarang bisa melahirkan pimpinan nasional/daerah berkarakter Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu? Jelas sangat sulit karena membutuhkan pemimpin yang ditopang dengan 3 kekuatan super besar: Spiritual, Intelektual dan Finansial (Trisulaweda). Datangnya keajaiban seperti itu membutuhkah momentum yang entah kapan datangnya. Tapi kita bisa mempercepatnya atau memastikan kemunculannya dengan usaha tak kenal lelah dalam mengembangkan model realisasi prinsip Trisakti seperti yang dijalankan di Pusaka Indonesia. Kerja keren di semua lini; hening beraksi dan mencipta mahakarya, harus terus kita lakukan agar KEAJAIBAN YANG MENGUBAH NEGERI INI benar-benar datang.

Semesta Mendukung siapapun yang bekerja sungguh-sungguh sesuai kapasitas terbaik dengan ketulusan yang sempurna.

Setyo Hajar Dewantoro

The Architect of Civilization, The Alchemist, The Game Changer

3 Comments

Leave a Reply