Aku bertemu dengannya tanpa prolog dalam kondisi “simulacra moralitas dan etika Indonesia.” Sore itu, saat Aku terjatuh dan tak ingin bangkit kembali. Saat Aku rindu mati. Aku berharap semuanya menghilang segera secepatnya saat itu. Aku berharap diriku sendiri juga ikut menghilang. Mati. Dan, perlu kujelaskan bahwa Aku tak mau berterimakasih pada Tuhan yang memberiku umur yang tak kumau. Sebab, aku maunya mati. Hanya itu.
Lalu, ia bercerita tentang Nusantara, tentang Indonesia. Bersama team komplit saat itu, di kedai kopi tempat orang lain mengadah kerinduan. Di suatu sore yang tak rintik hujan datang karena zaman gersang memang sedang melanda. Ya, demi jalan Margonda, hari itu mukjizat pancasila datang tanpa diundang: bergotong royong.
Singkatnya, ia mengajakku berkawan dan bergurau. Begitu banyak pikiran, kegiatan, cita-cita bahkan buku-buku. “Aku ingin buat kampus,” katanya saat puluhan bulan lalu. Kerennya, kami berliturgi nusantara (dalam bahasa Yunani: leitourgia) berarti pelayanan dan kerjasama yang dibaktikan bagi kepentingan bangsa, rakyat dan sesama.