Skip to main content

Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media

Pengaturan Kepentingan: Ekonomi politik dari Media Masa.

Judul diatas adalah buku karya Edward S. Herman dan Noam Chomsky yang diterbitkan tahun 1988. Buku yang sudah lama terbit tapi menurut saya masih sangat relevan agar kita tahu bagaimana media massa besar saat ini bekerja dan kenapa tidak seperti dulu lagi. Al Jazeera English baru saja mengupload kembali sebuah video ilustrasi dari isi buku ini. Mengingatkan saya, bahwa saya pernah nonton video ini sebelumnya 5-10 tahun yang lalu. Saat itu saya lebih skeptis, apa iya sih sepert itu kejadiannya? Bukankah masih banyak jurnalis jujur yang menyuarakan kebenaran?

Dulu media massa dipuji sebagai “check dan balance” atas kebijakan pemerintah. Bila ada kebijakan yang salah, maka pers meliputnya dan penguasa akan melakukan koreksi atasnya. Media menginformasikan dan melayani publik agar publik bisa menentukan proses politik yang baik. Seperti misalnya pilpres di AS yang saat ini terjadi, media massa di AS melakukan dengan intrik-intrik untuk memenangkan salah satu capres.

Semakin hari, cerita jurnalis jujur yang kritis semakin langka terdengar. Yang jadi berita hangat adalah gosip artis, entertainment atau skandal pejabat. Berita-berita tentang koreksi atas kebijakan publik semakin jarang muncul di media massa besar.

Video yang diproduksi Al Jazeera 7 tahun lalu, dengan baik dapat menyarikan buku Herman dan Chomsky. Chomsky sendiri, dalam wawancara dengan Al Jazeera mengatakan video ini sangat “brilliant” menjelaskan isi bukunya (Dec 2018).

Menurut Herman dan Chomsky, ada lima editorial filter yang mengganggu dan menjadikan media menjadi bias dalam “menginformasikan dan melayani publik”. Lima filter ini disebut dengan “Model Propaganda dalam Mengatur Kepentingan Publik”:

1. Besar media, Kepemilikan dan Keuntungan Media.
Tidak bisa dipungkiri, untuk bisa meliput dan menjangkau masyarakat luas, maka media massa perlu menjadi besar, yang hanya bisa dimiliki pemilik modal besar. Dan sebagai pengusaha perlu adanya keuntungan untuk memastikan investasinya tidak sia-sia. Dan akibatnya, berita yang muncul di media massa besar akan memastikan kepentingan “pemiliknya” akan terlindungi.

Dalam buku “Relasi Kuasa Media Politik, Kontestasi Politik dalam Redaksi Berita Televisi,” karya Dr. Mohammad Zamroni, Msi, dibahas bagaimana Media Metro TV dan iNews secara jelas mendukung kontestansi Pilkada DKI tahun 2017. Metro TV yang erat dengan Partai Nasdem (Surya Paloh) mendukung pasangan Ahok-Jarot dan iNews TV (MNC) erat dengan Perindo (Hary Tanoesoedibjo) yang erat dengan Perindo mendukung Anis-Sandi. Dalam kesimpulan buku ini menyebutkan “Hadirnya iNews dan Metro TV yang menjadi media partisan pada kontestasi politik Pilkada DKI Jakarta 2017, hasil telaah secara empiris terhadap struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media tentunya menjadi tampak jelas betapa kuatnya arus kepentingan ekonomi politik dan kekuasaan dalam tubuh kedua media partisan ini”

2. Bisnis Iklan
Dengan biaya operasi yang besar, media massa tidak bisa menggantungkan hanya dari pembaca. Untuk hidup, media massa perlu mendapat bisnis dari iklan. Otomatis, media massa akan menghambakan dirinya kepada yang memberi bisnis iklan. Tidak hanya itu, menjual juga privasi data pembaca berita ke perusahaan iklan. Indofood pemilik produk Indomie akan memilih kantor berita TV yang tidak memberitakan keburukan “mie instan” sebagai Ultra Processed Food yang bila dikonsumsi berlebihan, berbahaya bagi kesehatan manusia. Kantor berita TV ini akan berselingkuh lebih lanjut dengan memberikan demografi data pemirsa dan jam tayang yang akan digunakan perusahaan untuk menentukan kapan menempatkan iklannya dengan efektif.

3. Pengaruh Pemerintah, Korporasi dan Institusi Besar
Media massa perlu akses ke berita-berita besar, untuk menurunkan biaya, mereka perlu berhubungan baik dengan sumber berita. Dalam banyak hal, sumber berita adalah pemerintah. Terjadilah kolusi antar kantor berita dan pemerintah. Pemerintah sering memberikan berita khusus ke kantor berita tertentu agar ratingnya naik. Di sisi lain, oknum pemerintah mendapat keistimewaan agar berita buruknya tidak ditampilkan dalam media. Hal yang sama dilakukan oleh korporasi dan institusi besar. Dalam memastikan narasinya diterima oleh masyarakat, korporasi dan institusi memberi media dengan “sumber-sumber yang bisa dipercaya” atau “ahli (expert)” padahal mereka-mereka ini telah dibayar sebelumnya. Seorang wartawan pemenang Pulitzer, Seymour Hersh, menulis buku berjudul “How America took out the Nord Stream Pipeline” (Bagaimana AS mengebom pipa Nord Stream). Seperti kita ketahui, pipa nord stream diledakkan agar Rusia tidak bisa mengirim LNG ke Jerman, yang kemudian Jerman harus membayar mahal biaya energinya. Sebagai pemenang Pulitzer, Hersh mempunyai kredibilitas yang tinggi dan tulisan layak dipercaya. Pemerintah AS sendiri menolak dengan tegas tuduhan ini, tapi tidak juga melakukan investigasi yang layak dan cenderung merahasiakannya. Dan kemudian muncul artikel dari wartawan-wartawan lain yang mengkritik tulisan Hersh, menuduh Ukraina dibalik ledakan tersebut atau menuduh Rusia yang melakukan. Prof Jeffry Sach mengatakan jelas Ukraina tidak punya teknologi untuk meledakkan pipa yang dibawah laut Baltik sedalam 70 meter . Kepandaian pemerintah AS membungkam media besar menjadikan issue ini jadi seperti hilang dengan sendirinya.

4. Flak (kritik keras)
Bila ada berita yang mengkritik keras penguasa maka dicarilah narasi tandingan untuk melawan kritikan keras tersebut yang bisa dalam bentuk: sumber berita tidak bisa dipercaya, berita tidak bermutu, pembunuhan karakter dan mengalihkan kritik keras itu ke isu-isu lain agar tidak menjadi viral dan segera padam. Contoh kasus pelanggaran HAM di Pulau Rempang di Batam yang sempat hangat dan sekarang tidak terdengar lagi beritanya.

5. Musuh bersama
Untuk mengatur opini publik diperlukan musuh bersama. Sesuatu yang dibuat untuk menakut-nakuti pemirsa/pembaca agar narasi kepentingan tertentu bisa masuk. Dulu kita dicekoki musuh bersama seperti komunisme, terorisme, imigran. Semuanya sekarang tidak relevan lagi. Negara komunis seperti Tiongkok nyatanya sangat maju sekarang. Pelaku terorisme utama sebenarnya AS dan NATO sendiri. Imigran (ilegal) sekarang malah diperbolehkan masuk ke AS dan EU, bahkan disiapkan rumah dan biaya hidup. Yang sekarang masih dipercaya sebagai musuh besama adalah narasi “global warming” (Pemanasan global) yang disebabkan oleh tingginya kadar karbon. Jelas ini ilusi yang akut. Tapi, dengan narasi yang terstruktur, sistemik dan masih, banyak masyarakat yag mempercayainya.

Apa yang ditulis Edward S. Herman dan Noam Chomsky 36 tahun yang lalu masih relevan saat ini. Justru malah semakin jelas telah terjadi. Sayangnya hal ini sudah menjadi “normal” di masyarakat kita. Chomsky dalam bukunya mengatakan: “Education is a system of imposed ignarance” (Pendidikan adalah sistem yang menjejali “kemasabodohan”). Ia juga menulis: “”The general population doesn’t know what’s happening, and it doesn’t even know that it doesn’t know.” (Sebagian besar masyarakat tidak tahu apa yang terjadi, dan mereka juga sebenarnya tidak tahu bahwa mereka tidak tidak tahu). Artinya, sebagian besar masyarakat kita tanpa disadari, mudah dibohongi dan termakan oleh propaganda oleh media.

Al Jazeera sendiri didanai oleh pemerintah Qatar jadi ya tidak netral-netral banget, tapi paling tidak berani jujur menuliskannya di depan. Sosial media (internet) yang dulu oleh Noam Chomsky diharapkan sebagai penyeimbang media masa besar, sekarang juga sudah “dikontrol” agar tidak terjadi mis dan dis-informasi (istilah untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan narasi penguasa). Untuk itulah peran media independen menjadi penting seperti “X” punya Elon Musk.

Mari kita menjadi konsumen media yang semakin cerdas.

Leave a Reply