Skip to main content

Bangsa Indonesia diproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, disusul dengan pembentukan nation-state (negara-bangsa) pada 18 Agustus 1945 dengan nama Republik Indonesia. Momen itu menjadi penanda era baru: bangsa Indonesia yang semula ada dalam penjajahan menjadi bangsa merdeka yang berdaulat, yang punya pemerintahan sendiri tanpa campur tangan negara lain, dan tentu saja punya kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.

79 tahun telah berlalu. Kini kita ada di tahun 2024. Tepat pada titik inilah saya justru terusik oleh pertanyaan, “Sudahkah kita benar-benar berdaulat?” Renungan saya dengan menimbang berbagai faktor justru memunculkan kesimpulan: makin ke sini kedaulatan kita makin tergerus. Ungkapan halusnya, sebagai bangsa dan rakyat Indonesia kita belum utuh dan penuh menggenggam kedaulatan.

Mengapa kesimpulannya begitu? Tentu karena ada beberapa fakta yang menguatkan kesimpulan itu. Mari kita selami bersama.

Mulai dari ranah konstitusi, jelas ada pengaruh kekuatan asing yeng membuat terjadi amandemen kebablasan terhadap UUD 1945. Pengujian terhadap berbagai pasal seperti pasal 33 yang diubah, juga penurunan derajat Majelis Permusyawaratan (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara hanya menjadi Lembaga Tinggi Negara, menunjukkan dengan jelas infiltrasi ideologi neoliberal terhadap konstitusi kita. Kita juga bisa menyebutkan bagaimana Amandemen UUD yang terjadi pada 2002 itu merupakan kulminasi dari skenario reformasi yang lebih pas dikatakan sebagai pencangkokan sistem bernegara ala Amerika Serikat kepada negara ini yang menemukan momentumnya pada tahun 1998. Banyak cerita di balik layar yang saya dapatkan tentang pengaruh pihak asing dalam proses ini.

Tak heran ada yang menyatakan pada 2002 telah terjadi “kudeta konstitusi” karena kedaulatan rakyat diambil alih oleh kekuatan pasar/para pemilik modal/kelompok neo-imperialis. Pasca peristiwa ini, berturut-turut muncul peraturan perundang-undangan yang lebih membela kepentingan kelompok pemilik modal/oligarkis – UU Kesehatan adalah contoh yang paling telanjang dan sangat potensial merenggut kedaulatan rakyat.

Sepanjang 2020 hingga 2023, sangat jelas betapa kedaulatan rakyat direnggut atas nama pandemi. Yang sebenarnya terjadi adalah pemaksaan kepentingan elit global yang bersanding mesra dengan hasrat koruptif oknum elit lokal: kebijakan dibuat bukan untuk melindungi rakyat tapi memastikan bisnis besar farmasi – juga agenda globalis lain yang terkait dengannya – bisa berjalan dengan mulus. Pada masa ini sangat jelas bagaimana kita kehilangan hak untuk berkumpul, bersosialisasi, berkebudayaan, mencari nafkah hingga beribadah kepada Tuhan YME gara-gara issue penyakit yang penentunya adalah alat tes yang bisa diragukan validitasnya jika kita menggunakan pendekatan sains dan akal sehat. Penghilangan kedaulatan rakyat atas nama pandemi tentu tak boleh lagi terjadi di masa depan.

Di ranah politik, penerapan sistem demokrasi pasar juga membuat kedaulatan bergeser dari tangan rakyat kepada para pemilik modal alias para bohir. Sangat jelas bagaimana di setiap Pemilu/Pilkada rakyat yang mayoritas tidak terdidik dan tidak kritis sangat mudah dimanipulasi oleh siapapun yang punya modal besar untuk melakukan pembentukan opini publik.

Sistem ini membuat pada akhirnya para pejabat terpilih tidak mengabdi kepada rakyat tapi kepada pihak-pihak yang menyediakan biaya politik. Inilah lingkaran setan yang menggerus kedaulatan politik dari rakyat Indonesia.

Di ranah ekonomi, jelas sekali negara ini tidak sepenuhnya berdaulat dalam menentukan nasibnya sendiri. Sektor manufaktur sulit berkembang karena ada desakan dari negara-negara besar yang ingin melanggengkan pasarnya di negara ini.

Kekayaan minyak, gas dan tambang jelas sebagiannya ada dalam penguasaan pihak asing atau penguasaan segelintir kaum elit: dampaknya banyak rakyat tetap miskin dan bodoh padahal Indonesia adalah negara kaya.

Beberapa komoditas yang semestinya kita swadaya malah mengimpor: mulai dari kedelai, garam, gula hingga beras. Tentu saja ini bukan transaksi dagang yang bebas intervensi politik. Yang terjadi, kurangnya kedaulatan politik membuat negara ini sulit berdikari secara ekonomi meski sebenarnya bisa jika mempertimbangkan sumber daya yang kita miliki.

Maka, tidaklah berlebihan jika kita simpulkan bahwa meski kita adalah negara-bangsa yang merdeka, kita masih sangat jauh dari keadaan berdaulat. Padahal kedaulatan ini adalah faktor yang krusial dan fundamental untuk memastikan tercapainya cita-cita kemerdekaan: Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.

Seyogyanya, kita menyadari keadaan yang belum ideal dan berani mencanangkan satu tekad: Rebut kembali kedaulatan republik. Tapi jelas bahwa perjuangan merebut kedaulatan republik yang dicengkram kaum neo-imperialis dan para kompradornya, tidak lebih mudah – atau bahkan bisa jadi jauh lebih sulit, ketimbang proses meraih dan memproklamasikan kemeedekaan. Namun, sesulit apapun, itulah perjuangan suci kita agar kita tak dicap sebagai generasi yang mengkhianati para pendiri Republik Indonesia.

Apa yang bisa kita lakukan? Bung Karno sudah menunjukkan formula atau strateginya: TRISAKTI. Inilah yang memang kita harus lakukan: Bangun budaya yang sesuai jatidiri dengan mempraktikkan seutuhnya Pancasila dan kembali kepada corak kebudayaan saat kita menjadi bangsa yang jaya – saat kita menjadi bangsa Nusantara di era Majapahit, Sriwijaya, Kahuripan, dan seterusnya. Selanjutnya, bangun kedaulatan politik dengan kembali kepada UUD 1945, menjalankannya secara konsisten dan mempraktikkan Demokrasi Pancasila. Berikutnya, tentu saja kita harus menjalankan sistem ekonomi Pancasila yang berorientasi pada keberdikarian, keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.

Setyo Hajar Dewantoro

The Architect of Civilization, The Alchemist, The Game Changer

Leave a Reply