Saat saya SMA, saya sering ditertawakan teman-teman karena sudah sangat serius memikirkan bagaimana negara bisa diperbaiki. Saya banyak ide yang kemudian saya tuliskan – tentu saja sebagian besar ide itu landasannya adalah ilusi saya. Sebagian idenya benar, tapi tak realistis untuk dijalankan. Yang pasti saya termasuk pemikir dan idealis sejak remaja. Makanya kemudian saya tumbahkan hasrat itu dengan menjadi aktivis di Pelajar Islam Indonesia, HMI MPO dan beragam organisasi lainnya. Namun saat ada gelombang Reformasi tahun 98, saya tidak ikut serta menjadi bagian dari pasukan demonstran. Saya kadung pulang kampung dan berkiprah di kampung: jadi guru di Madrasah Tsanawiyah dan jadi guru ngaji di mushola.
Kini, saya telah berhasil membangun peran sebagai Guru Meditasi/Guru Spiritual, salah satu yang paling banyak pengikutnya di Indonesia. Lalu, saya tergerak untuk menjadi aktivis dengan pendekatan yang berbeda – saya aktivis yang punya hasrat mengubah Indonesia dan punya visi “Indonesia Surgawi”. Sejak 2019 peran sebagai aktivis ini sungguh-sungguh saya rintis. Di tahun 2023, saya semakin mengerti apa tantangan kita sebagai sebuah negara – bangsa.
Dalam kesadaran saya, Indonesia memang butuh perubahan mendasar di 3 sektor sehingga perlu diluncurkan 3 aksi perubahan: perubahan kultural, perubahan konstitusional dan perubahan struktural.
Secara kultural jelas tantangan kita adalah terlampau banyaknya manusia Indonesia yang tak Pancasilais. Lebih rinci, mengacu pada riset sosiologis yang dilakukan oleh Prof. Yudhie Haryono, banyak masyarakat Indonesia yang mengidap mental korban kolonialosme: volatile, fractalis, inward looking, dan semacamnya. Merujuk Mochtar Lubis malah lebih sadis bahasanya: banyak orang Indonesia yang munafik akut. Dalam sudut pandang spiritual ya jelas mayoritas orang Indonesia terbilang rendah Level of Consciousnessnya: mereka tak bahagia, mudah berantem gara-gara perbedaan apapun, suka buang sampah sembarangan bahkan banyak yang tega menjadikan sungai sebagai tempat sampah.
Secara konstitusional jelas kita punya problem nyata: UUD telah diamandemen 4 kali berkat gelombang reformasi konstitusi yang sangat pro neoliberalisme, termasuk sekarang banyak Undang-undang yang tidak bersemangatkan Pancasila dan bisa sangat membahayakan tata kehidupan dan kemanusiaan – termasuk UU Kesehatan yang memberi ruang maksimal bagi pemerintah dan pebisnis farmasi untuk bertindak aniaya pada rakyat dengan alasan “wabah”.
Di ranah struktural, baik di sektor politik maupun bisnis, jelas menjadi makin langka negarawan dan pengusaha yang patriotik. Kekuasaan telah dicengkeram erat mereka yang merepresentasikan kekuatan neoliberal – rakyat sejatinya makin tergerus kedaulatan dan keberdikariannya. Hutan dan lahan semakin jelas jadi ajang bagi-bagi yang punya kuasa dan uang. Pemilu di tingkat pusat hanya menjadi ajang mengukuhkan jejaring kolaboratif antara: aktor panggung – king makers – bohir lokal dan bohir global. Nyaris tak ada peluang untuk munculnya perubahan dengan lahirnya pemimpin berkarakter negarawn yang jenius dan Pancasilais.
Maka, wajar muncul pertanyaan, mulai darimana kita memperbaiki Indonesia. Ini pertanyaan yang sulit dijawab. Apalagi orang-orang baik yang dapat kesempatan jadi pejabat ujungnya yang hanyut dalam sistem yang bobrok dan membuat kecewa juga. Banyak orang idealis yang kemudian frustasi.
Jika Anda mempertanyakan hal itu pada saya, jawaban saya jelas: saya mulai dari menyiapkan 1000 Ksatria Pancasila yang berLoC 300 dan masing-masing berjejaring dan berkarya sesuai talenta.
Saya gak mau muluk-muluk dan ribet. Saya terus hening dan beraksi mencipta keajaiban.
Kekuatan Sabda.
Sabda bisa menjadi kekuatan yang mengubah.
Maka dalam tradisi Jawa dikenal terminologi Sabda Mandi Sabda Dadi. Tradisi Tantra menegaskan realitas Mantra yang kemudian dalam tradisi Jawa diadopsi menjadi Japa Mantra. Ini adalah seni mendayagunakan kata-kata; melambari kata dengan energi tertentu sehingga bisa mengubah keadaan secara immaterial maupun material.
Saya menyabda dalam keheningan. Segala kata muncul didorong oleh kesadaran yang muncul dari relung hati; otak saya menterjemahkanya kedalam bahasa manusia. Maka panduan hening cipta, ceramah, tulisan hingga tawa saya, adalah Mantra yang mengubah. Kesemuanya adalah bagian dari Sabda yang penuh daya.
Keheningan harus menjadi dasar, agar yang muncul bukanlah kata-kata yang mengikuti hasrat egoistik. Kata-kata harus merepresentasikan kehendak jiwa yang murni; harus pula selaras dengan kehendak dari Sang Sumber Hidup. Kata-kata yang membawa keadaan dan kenyataan menjadi semakin selaras, pastilah dilambari kekuatan kasih murni yang muncul dari relung hati.
Maka saya tak pernah lelah menebar kata dan bersabda. Melalui tulisan dan ceramah, saya berupaya mengubah mikrokosmos dan makrokosmos. Kata-kata saya menerangi kesadaran, mencerahkan, membangkitkan semangat perubahan. Maka tak ada kata-kata ambigu, sok manis dan inkonsisten. Semua kata-kata saya harus lugas, jelas, tegas dan konsisten. Ia menohok ego yang menonjol dan membangunkan jiwa yang tertidur.
Saya konsisten memantra Indonesia, agar jadi negeri surgawi. Meski perubahan tak segera terlihat di tataran material, saya tahu ini bukan kesia-siaan. Semua sedang bergerak menuju harmoni. Sabda dan mantra yang dilandasi hati murni menggerakkan kekuatan langit dan bumi, pastilah terjadi keajaiban. Kita pasti diselamatkan dan cita-cita agung kita pasti tercapai.
Mengiringi sabda, kita tentu saja harus beraksi. Kata dan tindakan mesti selaras, seiring sejalan. Saya beraksi lewat 3 pilar: persaudaraan spiritual, perkumpulan kebangsaan, dan lembaga bisnis yang bergerak tanpa keserakahan.
Jangan pernah menyerah meski hidup di Indonesia bahkan planet Bumi ini memang penuh tantangan. Orang-orang kaya yang gila tak henti bermanuver dengan segala issuenya: “pandemi”, “climate change”, “world war”. Intinya mereka ini tak pernah lelah menjalankan aksi neo-kolonialisasi.
Maka kita juga tak boleh lelah terus bergotong royong mencipta keajaiban. Untuk Indonesia Surgawi, untuk Bumi Surgawi.