Skip to main content

Kita memang layak untuk belajar dari sejarah, betul-betul menangkap esensi dari segala peristiwa agar kita bisa memberikan penyikapan yang paling tepat dan realistik untuk kemajuan kita bersama saat ini.

Tahun 1965 menjadi semacam kejatuhan minor. Dan, menjadi semacam antiklimaks dari kebangkitan minor pada tahun 1945. Kita pernah mengalami kejatuhan mayor atau kejatuhan yang lebih fundamental di abad 15. Beberapa ratus tahun kemudian, tahun 1945, kita mendapatkan anugerah. Kita terlahir sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Inilah yang saya sebut sebagai kebangkitan minor karena membutuhkan waktu untuk bermetamorfosis, mengalami kebangkitan yang lebih besar lagi.

Kebangkitan ini dimotori oleh Bung Karno dan para Founding Fathers lainnya. Tapi, yang diperjuangkan pada tahun 1945 itu mengalami antiklimaks. Kita kemudian terjatuh karena lawan yang dihadapi memang sangat berat pada tahun 1965.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Hans. Lawan yang sebenarnya adalah ‘itu’. Pun kalau kita menengok ke abad 15, lawannya ‘itu’.  Kemudian, kita memerdekakan diri pada tahun 1945, ya, ‘itu’ juga. Bahkan, yang membuat kita jatuh pada tahun 1965, ya, ‘itu’ juga. Yang membuat era reformasi, ya, ‘itu’. Yang menjadi dalang di balik isu pandemi sekarang, ya, ‘itu’.

Pertanyaannya, “Apa yang akan terjadi di masa depan?”

Saya juga sering betul-betul mempertanyakan itu semua di dalam keheningan. Secara sederhananya, saya mengajukan pertanyaan itu kepada Sang Roh Kudus/Diri Sejati di dalam diri. Secara manusiawi, tetap ada banyak faktor di luar sana yang membuat kita bertanya-tanya karena tantangan yang kita hadapi ini memang tidak gampang.

“Bagaimana nasib bangsa inì ke depan?”

Pertanyaan ini layak diungkapkan karena secara faktual kita belum menemukan orang atau institusi dengan kekuatan yang optimal betul-betul membela rakyat. Kita seperti anak ayam yang tidak punya induk untuk melindungi dan mengayomi.

“Bagaimana nasib bangsa yang kondisinya seperti anak ayam tanpa induknya itu?”

Ketika orang yang diberi amanat itu tidak dengan sungguh-sungguh menjalankan amanatnya, ternyata tetap saja dari dalam sanubari yang ada hanyalah jawaban optimistik. Lugas sekali jawabannya, “Tidak usah khawatir, tidak usah takut karena bangsa ini pastilah diselamatkan.”

Tetapi, tentu saja kita tidak bisa sekadar terbius dengan kata-kata ini, tanpa melakukan apa pun. Maka, satu hal yang bisa kita lakukan bersama adalah meneruskan perjuangan kita. Yang harus kita lakukan adalah tetap melakukan perlawanan terhadap segala upaya yang mencengkeram bangsa ini yang memang tidak pernah berhenti dilakukan oleh kekuatan-kekuatan yang sebetulnya sudah ada sejak masa yang sangat silam. Aktornya bisa jadi berganti-ganti, tetapi karakternya tidak pernah berubah. Institusi yang mengindukinya juga tidak pernah berubah.

Optimisme yang dimunculkan oleh Roh Kudus itu sebenarnya sangat beralasan. Secara hukum Kosmik, saat kita ada di titik nadir, justru itulah momentum untuk mengalami arus balik. Itulah momentum untuk mengalami kebangkitan.  Di mana ada situasi yang sangat ekstrem, seperti yang kita alami sejak tahun 2020, maka sebetulnya itulah momentum bermunculannya pahlawan-pahlawan yang sejati. Dan, membuat kita menjadi mengerti siapa pahlawan-pahlawan yang palsu atau orang-orang yang selama ini menjadi sok pahlawan.

Setyo Hajar Dewantoro

The Architect of Civilization, The Alchemist, The Game Changer

Leave a Reply