Skip to main content
Lesson

Saya semula tidak mengerti, kenapa saya digerakkan ke Vienna. Tapi saya patuh jalani titah meski belum mengerti. Dari Ljubljana Slovenia, menuju Vienna, Austria bisa menggunakan minivan/shuttle, jarak tempuh sekitar 4 jam. Sepanjang perjalanan, banyak pemandangan indah: gunung, hutan, lahan pertanian, perkampungan di perbukitan. Saya bisa merasakan tanah di Slovenia terbilang sehat. Sementara di Austria, tanah mulai dipulihkan. Vibrasi tanah yang sehat dan tidak memang berbeda. Tanah juga punya soul, bisa “bicara”.

Di Vienna, ternyata yang saya lakukan adalah menonton konser musik klasik. Tidak sengaja di kawasan pedestrian dekat Bristol Hotel tempat kami menginap, ada penjual tiket konser dengan busana Eropa jaman dulu. Titah semesta sangat jelas, beli tiket dan nonton. Waktunya jam 20-22 waktu Vienna.

Dengan busana batik saya datang ke konser yang kali ini membawakan gubahan Mozart. Tempatnya di Musikverein Golden Hall – State Opera, di belakang Imperial Hotel, cuma sekitar 300 meter dari Bristol Hotel di pusat kota Vienna.

Untuk orang desa seperti saya, nonton konser musik klasik sungguh di luar imajinasi. Sekadar cerita, saya mulai sekolah SD, di satu desa di pelosok Sukabumi, namanya Nyalindung. Setelah itu pindah ke pelosok Cirebon, namanya Gumulung. Agak ngota saat pindah ke SDN 19 Dauh Puri di Denpasar dan SDN Rejowinangun VI di Magelang. Bapak dan Ibu yang mengasuh saya memang rakyat jelata. Jadi beneran tak pernah terbayangkan agenda nonton konser musiknya Mozart di Vienna.

Nah, ternyata memang nonton konser musik klasik, memperhatikan pagelaran orkestra kolosal, memberi banyak pelajaran tentang hidup dan kepemimpinan.

Konduktor/Dirigen, adalah Sang Pemimpin. Ia seperti tak banyak kerja, yang terlihat sibuk kerja adalah anak buahnya. Ia seperti hanya menggerakkan tangan dan berkata-kata. Tapi seorang pemimpin adalah pemegang kunci. Daj memang tak gampang jadi Konduktor/Dirigen yang hebat: pengetahuan musik harus paripurna, jam terbang harus tinggi.

Kalau pemimpin berkinerja rendah, akan mendegradasi kinerja semuanya. Kalau ia salah memberi instruksi dan mengarahkan, bisa bubar semuanya. Kalau ia hanyut dalam emosi destruktif, bad mood, itu akan memberi pengaruh jelek bagi semuanya. Pemimpin hebat adalah sosok yang bisa memastikan tim kerjanya bekerja dalam tataran terbaik.

Sebuah orkestra, hanya bisa tampil keren jika bekerja sebagai sebuah tim, dengan prinsip “Satu untuk Semua, Semua untuk Satu”. Semua saling berkolaborasi tanpa kompetisi. Saling mendukung bukan menjatuhkan. Semua anggota orkestra berjuang mencapai penampilan terbaik, tanpa intensi egoistik: menonjolkan diri. Semua harus menampilkan versi terbaik dirinya sesuai peran dan tanggung jawabnya, mengikuti sepenuhnya arahan Konduktor, dan tidak bisa bertindak semau sendiri. Tapi Konduktor juga tak bisa semau sendiri, ia ikuti ” Rancangan Agung”, partitur dari sang penggubah musiknya. Dalam kepemimpinan di dunia nyata, pemimpin harus dipatuhi instruksinya, tapi pemimpin harus terlebih dahulu patuh pada Diri Sejatinya sebagai representasi Tuhan di dalam diri.

Dalam hidup demikianlah semuanya. Pemimpin agung menngorkestrasi, memandu manusia agar mencapai versi terbaik masing-masing. Semua orang bekerja didasari luruhnya ego. Kita bersama-sama membangun bumi surgawi.

Adakah jalan lain selain jalan keheningan, jalan kasih murni, untuk merealisasikan semua ini?

Catatan:
Di konser ini, yang saya nikmati adalah kesukacitaan bersama menikmati keindahan, tanpa sekat ras, agama, apapun termasuk status vaksinasi. Saya paling semangat pas sessi tepuk tangan. Nyatanya, ini sebetulnya momen agung, momen merayakan kehidupan yang bebas merdeka.

Setyo Hajar Dewantoro

The Architect of Civilization, The Alchemist, The Game Changer

Leave a Reply