Mari kita perluas definisi politikus bukan hanya mereka yang menjadi anggota Partai Politik dan terlibat dalam urusan Pilpres, Pilkada dan Pileg. Kita semua sesungguhnya adalah politikus, zoon politicon jika meminjam perkataan Aristoteles: kita punya kepentingan politik, kita menyuarakan aspirasi kehidupan kita, kita juga bertindak agar aspirasi itu terealisasi dengan menjadi bagian dari kebijakan negara. Orang seperti saya jelas bukan anggota Parpol manapun, tidak ikut Pileg, tidak juga jadi anggota Tim Pemenangan Capres manapun. Tapi saya sangat peduli politik, saya bisa juga disebut sebagai politikus. Saya sangat peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan keselamatan bangsa. Maka saya pasti turut bersuara jika ada hal yang membahayakan keselamatan bangsa: contoh nyata terkini, issue penyebaran nyamuk terekaya genetik yang dipasangi bakteri Wolbachia di Bali dan berbagai daerah di Indonesia.
Manuver dari WHO yang didukung Bill & Melinda Gates Foundation adalah tindakan politik di ranah kesehatan. Tujuan resminya terkesan bagus karena hendak mengurangi angka DBD dan penyakit akibat nyamuk lainnya. Tapi tentu ada motif lain yang tak terucapkan: kepentingan bisnis, ajang perang kesehatan dan seterusnya. Ketika ia melibatkan aparatur lokal dan ada manuver pat gulipat yang tak diketahui publik, maka otomatis ia menjadi issue politik yang serius: akankah ada bahaya untuk bangsa dan rakyat Indonesia?
Tugas rakyat adalah bersuara dan melakukan segala tindakan penyelamatan bangsa yang sesuai kapasitas dan berada dalam koridor konstitusi. Ketika ada kebijakan yang keliru dari para pengambil kebijakan, maka langkah advokasi kebijakan hingga class action menjadi logis untuk dilaksanakan. Kampanye penyadaran kepada publik yang diiringi solusi nyata juga menjadi bagian dari upaya politik penyelamatan bangsa. Sungguh naif jika kita selalu diam atas segala kebijakan pemerintahan atas dasar ilusif: pemerintah pasti selalu berniat baik dan pasti memutuskan yang terbaik untuk rakyat. Oh tidak begitu saudara! Terlebih di jaman demokrasi pasar/liberal, pejabat pemerintah tak mungkin lepas dari kepentingan oligarki di tingkat lokal, nasional hingga global yang bisa bertolak belakang dengan kepentingan rakyat banyak. Maka harus ada upaya check & balance; segala kebijakan yang krusial dan strategis harus lolos uji publik. Rakyat jangan lagi apolitis, rakyat harus menyikapi segala kebijakan pemerintah dengan nalar yang kritis dan konstruktif; jika ada yang salah ya harus ada koreksi.
Idealnya, kebijakan pemerintah atau negara harus dibuat atas dasar kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demikian amanat Sila Keempat Pancasila. Tapi peliknya saat ini mereka yang menjadi pejabat dan wakil rakyat tak mengerti apa itu hikmat kebijaksanaan. Asas mereka juga bukan lagi kerakyatan tapi keuangan. Mereka umumnya lebih senang berkonspirasi ketimbang bermusyawarah. Mereka juga bukannya mewakili rakyat dengan segala jeritan hatinya malah sibuk berjuang demi kepentingan pihak yang memberikan uang dan peluang politik.
Secara nyata, hikmat kebijaksanaan hanya dimengerti oleh siapapun yang telah menghayati Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Hikmat Kebijaksanaan adalah Suara Tuhan YME yang muncul dari relung hati, ia adalah tuntunan kebenaran yang pasti membawa pada keselamatan. Hanya yang menghayati kesatuan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segala yang ada, yang keberadaannya meliputi segala yang ada, yang sekaligus mengejawantah di relung hati sebagai Penuntun Agung dan Sumber Kasih Murni, yang bisa mengerti apa itu hikmat kebijaksanaan. Tapi kesadaran kesatuan tak akan ada pada orang-orang yang tak menjalankan hening cipta: tindakan menyadari secara penuh momen saat ini dan di sini, meresapi setiap tarikan dan hembusan yang natural, menyadari energi hidup, kasih murni dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hening Cipta adalah fondasi keterhubungan antara manusia yang memiliki kesadaran ragawi, dengan Sang Penuntun Agung yang bersemayam di Tahta Suci setiap manusia, di relung hatinya, di ujung tarikan nafas yang natural.
Berapa banyak pejabat dan politsi kita yang rajin berhening cipta sehingga egonya luruh dalam Kasih Murni Ilahi yang meliputi setiap diri manusia?
Para pembaca yang saya hormati, sesungguhnya prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, Sila Kedua Pancasila, juga hanya bisa terhayati oleh praktisi Hening Cipta yang di sanubarinya tumbuh mekar Kasih Murni Ilahi. Mereka yang menghayati Kasih Murni Ilahi pastinya juga telah merasakan bahagia sejati yang energinya mengalir dari relung hati. Mereka tak lagi terjebak ilusi kebahagiaan; mereka tak akan mengejar kebahagiaan sedemikian rupa hingga tega mengorbankan rakyat dan menggadaikan kedaulatan bangsa.
Sewajarnya kita merindukan para politikus yang Pancasilais, yang sungguh-sungguh bisa menjalankan peran sebagai negarawan yang agung. Itulah keadaan mendasar yang dibutuhkan untuk mengembalikan republik ini kembali ke jalan yang benar untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945: Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Tapi kita harus realistis, tidak mungkin keadaan itu bisa kita capai tanpa mengembalikan Hening Cipta sebagai tradisi bangsa yang agung. Transformasi karakter individu jelas membutuhkan metoda yang teruji. Tanpa Hening Cipta yang dijalankan dengan benar dan sungguh-sungguh, karakter Pancasila tak akan terbentuk pada pejabat, politisi dan rakyat Indonesia. Tanpa praksis Hening Cipta, Pancasila hanya akan jadi hiasan bibir dan kata-kata indah di dokumen negara. Hening Cipta adalah landasan terjadinya revolusi mental yang sesungguhnya. Hening Ciptalah yang menumbuhkan kesadaran Ketuhanan yang Maha Esa; lewat Hening Cipta setiap individu menjadi mengerti esensi ilahi di dalam dirinya sendiri lalu bertumbuh menjadi jiwa yang murni dan agung. Jika menggunakan pendekatan agama, sesungguhnya Hening Cipta ini sepadan dengan laku esensial pada semua agama: dzikir, meditasi, dhyana, kontemplasi mendalam, manekung.
Kita layak merenungkan ini semua karena kita butuh gagasan revolusioner untuk menyelamatkan bangsa. Kita harus kembali kepada prinsip agung pembangunan seperti digaungkan lewat lagu Indonesia Raya: Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya, untuk Indonesia Raya.