Memperbaiki Indonesia apalagi dunia memang perkara yang sulit dinalar. Lugasnya, jika kita mengandalkan nalar sebagai manusia, terlampau sulit bagi kita untuk memberi jawab: mulai dari mana, dengan cara apa, memang punya kekuatan apa? Memang masalah utama kita adalah: terlalu sedikit kekuatan yang kita punya (jika kita berhitung secara kongkret-materialistik) untuk menyelesaikan rajutan problematika dan tantangan yang ada.
Secara teoritik kita bisa saja berkata: “Solusi untuk Indonesia adalah kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang asli”. Tapi inilah situasi yang kita hadapi:
1. Penentu bisa tidaknya Indonesia kembali kepada konstitusi pra-amandemen 2002 adalah para anggota DPR dan DPD yang merupakan output dari demokrasi pasar, yang hanya mengerti bahasa uang dalam memenangkan sebuah kepentingan. Mereka nyaris tak kenal “amanat penderitaan rakyat”. Sementara pihak yang tak ingin Indonesia kembali ke Konstitusi Versi 1945 punya uang sangat banyak, dan yang mau mengalahkan pihak ini harus punya uang lebih besar agar bisa memenangkan pertarungan demokrasi di Gedung MPR.
2. Jikapun berhasil diketokpalu Indonesia kembali ke Konstitusi Versi 1945, siapa yang bisa menjamin Presiden yang terpilih oleh MPR, beserta jajaran pemerintahannya tidak mengikuti jejak otoritarisme dan militerisme Orde Baru (1966-1998)? Meski sebagian orang bisa berargumen masa itu lebih baik dibandingkan masa Orde Reformasi, tentu kita tak bisa menyingkirkan begitu saja kekhawatiran dan kemungkinan kembalinya berbagai tragedi dalam kehidupan berbangsa bernegara yang pernah terjadi.
Bukankah kita bertemu jalan buntu?
Kita juga bisa menteorikan bahwa Indonesia akan sejahtera saat korupsi dipangkas sampai ke akar-akarnya lewat penegakan hukum yang konsisten. Tapi faktanya adalah bagaimana mungkin korupsi bisa diberantas jika mereka yang punya tanggung jawab sebagai penegak hukum turut dalan perilaku koruptif? Bagaimana pula kita bisa optimis dengan jargon pemberantasan korupsi jika para aktivis prodemokrasi dan aktivis anti-korupsi yang masuk ke pemerintahan (semenjak Orde Reformasi) tak kalah koruptifnya dibandingkan penguasa Orde Baru yang dulu mereka kritik, demonstrasi dan jatuhkan? Apa yang bisa diharapkan dari pemerintahan hasil berkalli-kali pemilu yang selalu berisi para koruptor yang didukung penuh para olligark? Kepada siapa kita bisa berharap?
Lagi-lagi kita ketemu jalan buntu…
Maka, saya tak bisa bersandar pada nalar manusiawi; saya tak bisa lagi percaya pada model perubahan bahkan revolusi yang pelaku utamanya tetaplah para manusia yang hidup dengan egonya dan penuh sisi gelap. Saya juga tak bisa percaya pada orang yang sekadar baik – yang pasti tumbang oleh bujukan atau ancaman ketika mereka masuk ke lingkaran kekuasaan.
Saya juga sudah sangat sering menjumpai cendekiawan yang idealis, yang punya banyak konsep solutif untuk bangsa dan dunia, berujung pada frustasi yang tragis. Mereka seperti membentur dinding baja yang super kuat. Nyatanya, kekuasaan memang tak bisa diubah dan diperbaiki hanya dengan akal sehat atau gagasan jenius. Mereka yang berkuasa tetap memilih keputusan yang menguntungkan diri mereka, keluarga merreka, kelompok mereka ataupun penyokong dana mereka, tak peduli itu jika keputusan itu bodoh dan menyengsarakan rakyat banyak. Nasihat para bijak tak lagi didengar oleh yang berkuasa karena magnet uang dan kekuasaan lebih mempesona ketimbang kebenaran.
Jadi, masih adakah harapan?
Sekali lagi jika mengandalkan nalar dan kekuatan manusiawi memang saya sendiri tak menemukan titik cerah untuk punya harapan. Satu-satunya yang membuat saya masih punya harapan adalah kesadaran saya bahwa KEKUATAN ADIKODRATI itu ada dan nyata; bahwa kita bisa mengakses dan mendayagunakannya dengan formula tertentu. Ini tentu bukan tentang iman yang buta dan sekadar perkataan sok relijius yang tak realistis. Saya bicara tentang hukum kosmik, tentang konstelasi kekuatan kosmik yang melingkupi kehidupan manusia di Bumi. Di jagad raya ini tak hanya ada hukum fisika dan rajutan sebab akibat pada tataran material. Jagad raya ini mencakup realitas yang material sekaligus immaterial; maka hukum sebab akibatnya pun mencakup segala variabel kekuatan baik yang material mauoun immaterial. Kemenangan dan kekalahan dalam perjuangan ditentukan bukan hanya oleh konfigurasi kekuatan politik, ekonomi dan militer semata, tapi juga oleh FAKTOR X yang berkaitan dengan KEKUATAN ADIKODRATI, Kekuatan Magis, The Power of Miracle. Saya bicara ini karena secara faktual, kekuatan yang immaterial ini telah bekerja di Bumi ini termasuk di Indonesia, sejak 2020.
Skenario berlapis yang dirancang oleh orang-orang super kuat mulai dari PANDEMI, RESESI EKONOMI, PERANG IKLIM hingga PERANG DUNIA, tak ada yang berjalan utuh. Dampak destruktif yang terjadi selalu jauh berbeda dari yang direncanakan. Selalu ada penyelamatan yang ajaib dan tak terpikirkan (oleh orang kebanyakan). Nyatanya angin perubahan berhembus dari episentrum politik dan ekonomi dunia: Russia, China, AS, Saudi Arabia bahkan Korea Utara. Old Circle yang ada di balik badan-badan internasional, korporasi global, maupun pemerintahan berbagai negara, tidak lagi tanpa lawan yang setimpal. Hingga detik ini nyatanya kehidupan di Bumi tak seseram yang dinujumkan sebagian pakar dan digaungkan media mainstream. Bagi saya, Vladimir Putin, Xi Jin Ping, Donald Trump, Elon Musk, bahkan Mohammad bin Salman dan Kim Jong Un adalah wahana-wahana yang nyata bagi bekerjanya kekuatan adikodrati untuk menciptakan kesetimbangan geopolitik yang baru dan lebih memberi harapan bagi keselamatan peradaban. Tentu Anda yang hanya menggunakan nalar rasional-empirik sulit untuk melihat kebenaran dari penilaian saya. Tapi mari kita lihat soal fakta yang saya sebutkan: dunia saat ini memang tak seseram yang dinujumkan oleh Fauci, Bill Gates, Klaus Schwab maupun Tedros. Kita, sebagian besar warga dunia masih hidup dalam “kenormalan”.
Maka yang bisa dan harus kita lakukan adalah:
1. Mengupayakan makin besarnya KEKUATAN ADIKODRATI yang bekerja di Bumi ini dan makin banyak pribadi yang menjadi WAHANA-NYA.
2. Melakukan karya terbaik dengan ketulusan yang sempurna karena itulah faktor penarik datangnya pertolongan dan keajaiban yang menyelamatkan.
Berdasarkan hukum kosmik, faktor yang mendukung keberhasilan agenda perbaikan dan penyelamatan pada skala negara maupun global adalah:
1. Makin banyaknya orang yang berjiwa murni yang mau beraksi mencipta mahakarya untuk perbaikan di Bumi.
2. Makin banyaknya mandala/pusat energi yang teraktivasi kembali.
3. Makin bamyaknya Kekuatan Purba di Bumi (sebagai bagian dari KEKUATAN ADIKODRATI) yang terbangkitkan kembali.
Dalam kerangka inilah kita menggaungkan REVOLUSI SUCI dengan slogan praktis: HENING BERAKSI MENCIPTA MAHAKARYA. Inilah yang sedang kita kerjakan; inilah yang saya ajak kepada para pembaca untuk turut serta di dalamnya. Ini adalah perjuangan yang bentuk nyatanya adalah: (1) HENING dan terus menerus memancarkan Energi Kasih, Cahaya Kesadaran, dan Energi Kebahagiaan Murni; (2) Karya di bidang intelektual, teknologi, seni budaya, pertanian, lingkungan – kita bekerja yang konstruktif dan tidak ada ruang bagi tindakan destruktif: pemberontakan, kudeta, kerusuhan, bahkan demonstrasi jalanan. Kita melaksanakan perjuangan suci dalam arti sesungguhnya; tidak ada toleransi sedikitpun bagi kepentingan egoistik dan keangkaramurkaan.
Inilah jalan yang tersisa untuk keselamatan kita, anak cucu kita, Bumi ini dan peradaban di atasnya.
Setyo Hajar Dewantoro
Pendiri dan Pengasuh Persaudaraan Matahari
5ig95s
5imni8
68ugup