Skip to main content

Saya punya pikiran-pikiran yang revolusioner. Saya juga tak sungkan menyatakan bahwa saat ini saya sedang berupaya menyalakan Api Revolusi yang Suci. Tapi jelas saya tak percaya pada model revolusi berdarah seperti yang terjadi di Indonesia pada 1998. Revolusi yang memakan korban nyawa dan hanya bermuara pada pergantian rezim sama sekali tidak menjadi pilihan dalam perjuangan saya.

Mengganti rezim dengan orang yang wataknya sama saja, adalah kesia-siaan yang nyata. Saya jelas tak akan terlibat pada revolusi semacam ini yang berporos pada demonstrasi dan tekanan massa kepada epicentrum kekuasaan. Apalagi jika kita sebenarnya punya mekanisme pemilihan umum yang terjadwal dan relatit demokratis meski penuh permainan uang. Demonstrasi besar dan revolusi ala 1998 di Indonesia jelas sangat rentan ditunggangi oleh siapapun yang punya kekuatan logistik besar, punya jaringan media dan civil society yang luas, untuk mendesakkan agendanya. Itulah yang terjadi di 1998 dimana ujung semuanya adalah perubahan tatanan politik yang justru lebih buruk dari masa Orba dengan diamandemennya UUD 1945 dan diterapkannya sistem demokrasi pasar yang mengedepankan kekuatan uang.

Sungguh tak sebanding antara resiko yang diterima (oleh siapapun yang menjadi korban revolusi) dibandingkan dengan dampaknya: Indonesia tetap saja masih jauh dari tolak ukur Trisakti, yaitu Berbudaya Sesuai Jatidiri, Berdikari Secara Ekonomi dan Berdaulat Secara Politik. Janganlah naif dengan meyakini pihak-pihak yang menawarkan jalan demokratisasi lewat mekanisme kudeta dan demonstrasi besar benar-benar peduli pada nasib rakyat. Acapkali mereka hanya mencari celah untuk menancapkan kuku neo imperialisme.

Maka Revolusi Suci yang saya maksudkan jelas berbeda. Ini adalah perjuangan jangka panjang yang bisa jadi jauh dari kegegapgempitaan. Ini bukan perjuangan untuk merebut kekuasaan, tapi untuk mengubah watak kekuasaan tak peduli siapa yang berkuasa. Revolusi ini jelas harus dimulai dari kesabaran diri untuk menuntaskan revolusi kesadaran pada tataran pribadi yang berlanjut pada upaya melahirkan barisan manusia patriotik yang telah selesai dengan dirinya sendiri, yang punya militansi untuk berbakti pada negara-bangsa tanpa motif yang egoistik. Kita tak bisa buru-buru melihat dampak dari perjuangan seperti ini: jika keberhasilan baru bisa dipetik 20-30 tahun lagi, itu sama sekali tak masalah. Perjuangan bersama melaksanakan slogan Hening Beraksi & Mencipta Mahakarya dalam koridor Trisakti, memang tak bisa instan. Pertanyaan reflektif sederhana, jika kita sendiri masih penuh sisi gelap dan tidak menjadi penjahat hanya karena BELUM PUNYA KESEMPATAN BERKUASA, bagaimana mungkin kita bisa meminta para penguasa untuk tidak berlaku angkara?

Tidaklah mungkin ada perubahan watak pada rezim penguasa menjadi sesuai dengan idealitas: kepemimpinan yang melayani, patriotik dan penuh integritas, jika tak ada orang yang bisa sungguh-sungguh bisa konsisten berada dalam karakter yang luhur apapun tantangannya (baik berupa ancaman maupun bujuk rayu).

Maka, Revolusi Suci jelas harus bermula dari menyiapkan orang-orang yang punya karakter sebagai “satria pinandhita sinisihan wahyu”: ksatria yang bijaksana, berhati murni, terbimbing oleh sabda suci yang muncul dari relung hati. Sembari kita menginisiasi perbaikan nyata di semua lini mulai dari pemulihan tanah hingga pengembangan kebudayaan yang luhur. Inilah yang sedang kita lakukan melalui semua kegiatan kita.

Apakah tidak takut Indonesia keburu hancur? Jangan sombong dengan hanya mengandalkan kekuatan diri sembari mengabaikan kekuatan adi koddrati. Tugas kita hanya melakukan yang terbaik sesuai kapasitas kita dengan ketulusan yang sempurna, lalu berserah diri bahwa sesuai rajutan karma baik kita, kita akan mendapatkan pertolongan Semesta, kita diselamatkan sesuai kasih dan keadilanNya. Jangan lupa ada faktor X yaitu keberuntungan/keajaiban yang menyelamatkan dan memastikan tercapainya keberhasilan. Atas dasar inilah kita mantap selalu ada jalan Indonesia terselamatkan dan pada ujungnya, benar-benar menjadi negeri surgawi dengan pemerintahan yang adil dan bijaksana.

Setyo Hajar Dewantoro

The Architect of Civilization, The Alchemist, The Game Changer

One Comment

  • aisyah berkata:

    Terima kasih Mas Guru atas semua inspirasi, bimbingan dan limpahan kasih murninya selalu. Semoga kita semua terus semangat hening dan beraksi dalam upaya menjadi jiwa-jiwa yang murni.

Leave a Reply