Kita baru saja terbebas dari mimpi buruk dengan kerusakan yang nyata: “pandemi”. Saya tulis dengan tanda kutip karena nalar yang kritis pasti punya banyak pertanyaan bahkan keraguan terhadap peristiwa ini. Saya sendiri sejak awal sudah punya sikap yang jelas: ini adalah sebentuk pembodohan global. Ada kepentingan bisnis yang luar biasa di balik kebijakan yang dibuat pemerintahan di berbagai belahan dunia. Di Indonesia teramat gamblang kita melihat APBN kita kebobolan atau dibobol atas nama penanganan “pandemi”, padahal sebetulnya bisa diatasi dengan biaya murah dan cepat asal kita berpegang pada semangat keberdikarian dan kedaulatan.
Bagaimanapun kita bersyukur bisa rehat dari mimpi buruk. Kita bisa kembali bernafas lega dalam arti sebenarnya: di mall, di transportasi umum, di gedung perkantoran, di seluruh ruang publik. Tapi saya pribadi tak akan pernah lupa akan peristiwa ini, ini adalah sejarah kelam tentang hilangnya akal sehat dan matinya nalar kritis. Lebih jauh, ini adalah penanda sekaratnya kedaulatan dari sebuah negara dan bangsa yang dimerdekakan dengan susah payah pada tahun 1945. Saya mengajak Anda semua untuk tidak jatuh ke lubang yang sama, tidak mengulang kesalahan serupa.
Para founding fathers, kiranya akan berduka menyaksikan anak cucunya justru terjajah kembali melalui skema neokolonialisasi.
Dalam perspektif ideologi, Ideologi Pancasila yang dirumuskan para founding fathers Indonesia memang tengah kena pukulan telak oleh neoliberalism. Beragam elemen pemerintahan tunduk oleh kekuatan uang, korporasi dan pasar. UUD 1945 telah diamandemen 4 kali dan telah berbeda jauh dibandingkan UUD yang ditetapkan di tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai negara, sebagai bangsa, kita harus jujur, kita telah kehilangan kedaulatan. UU Kesehatan yang baru disahkan DPR menegaskan bagaimana UU kita tak lagi mengacu pada prinsip hikmat kebijaksanaan dan musyawarah. Kekuatan uang telah jadi penentu apa yang dianggap baik bagi rakyat Indonesia.
Di sektor ekonomi jelas kita menjadi makin jauh dari berdikari. Meningkatnya import di sektor pangan adalah berita buruk bagi negeri agraris, negeri yang dianggap punya tanah surga di masa lalu karena teramat suburnya. Saat ini para petani sedang sakit, tanah juga sama sakitnya, membuat kedaulatan pangan seperti mimpi di siang bolong. Di sisi lain, nilai tukar mata uang yang rendah sejatinya membuat kita auto miskin saat berhadapan dengan AS, Uni Eropa, Inggris, dan pihak manapun yang punya nilai tukar mata uang yang kuat.
Akar dari semuanya: kita memang tak lagi berbudaya sesuai jatidiri. Banyak warga bangsa yang tak lagi mengenali Pancasila. Banyak manusia Indonesia yang mempertuhankan uang tak lagi peduli pada Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kita berada di bandul budaya yang destruktif: religiusme fanatis yang mematikan akal sehat di satu sisi, dan sekularisme kebablasan yang bermuara pada materialisme di sisi lain. Banyak di antara kita yang lupa akan kesejatian kita sebagai bangsa spiritual berbudaya nan luhur dengan sains teknologi yang harmoni, dengan segenap jejak peninggalannya: candi-candi yang megah, batik, keris, dan segala jejak peradaban masa lalu yang agung saat kita menjadi bangsa Nusantara.
Ke depan, kita tentu masih mungkin menghadapi mimpo buruk berikutnya karena memang ada yang sedang mengupayakannya: manuver yang membahayakan kemanusiaan atas nama penanganan perubahan iklim, agenda pandemi susulan, dan seterusnya. Sementara di sisi lain kita berhadapan dengan sistem politik penuh kelucuan yang dimeriahkan oleh para aktor panggung yang membawa kepentingan para oligark. Seperti tak ada harapan untuk membuat perubahan, bahkan ketika hendak digelar perhelatan pemilu dan pilkada di 2024.
Saya tak heran jika menemukan ada orang idealis yang tahu kenyataan negeri ini lalu menjadi putus asa dan ingin mati saja. Saya sangat memakluminya karena bisa merasakan keputusasaan itu. Sementara sebagai rakyat jelata saya dan Anda tak bisa minta tolong kepada Bapak Presiden, Wapres dan semua mentrinya. Kita juga tak bisa minta tolong kepada pimpinan dan anggota DPR/MPR/DPD. Kita juga tak bisa minta tolong kepada Panglima TNI, Kapolri, Ketua KPK maupun Jaksa Agung dan Ketua MA. Tentunya kita juga tak bida minta tolong kepada para Ketua Partai. Kita tak bisa memohon kepada siapapun agar kehidupan berbangsa bernegara kembali mengacu pada Pancasila dan UUD 1945, juga agar prinsip Trisakti ditegakkan.
Tapi saya tak mau mati sekarang apalagi bunuh diri. Kesulitan yang memang luar biasa ini justru saya tanggapi dengan kesadaran paradox: kita juga sebenarnya luar biasa. Karena semesta selalu berjalan secara adil dan presisi. Kita sesungguhnya dianugerahi kemampuan yang sebanding dengan tantangan di hadapan kita. Maka saya selalu optimis. Saya punya visi profetik bahwa bangsa ini pasti selamat, pasti bisa merealisasikan cita-cita kemerdekaannya. Saya sangat mantap meyakini (meminjam bahasa Arab: haqqul yaqin) bahwa pasti tiba masanya ada perubahan: Indonesia kembali jadi lumbung pangan dunia, kita jadi negara sejahtera bahkan ada keajaiban pada kurs mata uang kita: 1 Rupiah jadi setara 1 Dollar dan kita jadi negara bebas hutang – malah berbalik jadi negara pendonor.
Saya mendedikasikan hidup saya untuk menciptakan keajaiban di Indonesia dan planet Bumi. Saya tahu, masih banyak orang Indonesia yang waras dan punya semangat perjuangan. Saya menunggu momentum untuk dipertemukan dengan Anda semua lalu berjuang bersama. Saya juga menunggu momentum orang-orang yang semula kurang waras menjadi waras. Saya sampaikan bahwa sekarang ini kekuatan langit dan bumi sedang bekerja mengubah keadaan. Maka Anda jangan melamun dan menganggur. Jangan juga hanya sibuk memikirkan nasib pribadi dan hanyut dalam drama manusia yang receh. Berbuatlah yang terbaik sesuai yang Anda bisa. Sumbangsihkan talenta dan apa yang Anda punya buat negeri kita tercinta. Sekecil apapun, sesederhana apapun, lakukan bakti pada Ibu Pertiwi dengan ketulusan yang paripurna.
Inilah refeksi dan pernyataan sikap saya, sepulang dari Tanah Borneo.