Beberapa hari yang lalu saya menulis tentang WHO yang tanggal 20 Mei 2025 lalu meluncurkan Perjanjian Pandemi yang disepakati 124 negara, termasuk Indonesia. (https://pusakaindonesia.id/opini/hari-kebangkitan-nasional-atau-keterpurukan-nasional/ )
Dalam tulisan tersebut, saya menggarisbawahi pentingnya WHO belajar dari kesalahan penetapan pandemi Covid-19 termasuk efektivitas vaksinnya. Tapi, alih-alih melakukan evaluasi, WHO malah menjadikan perjanjian pandemi, yang baru disepakati, sebagai dasar hukum kewenangan mengumumkan pandemi berikutnya dan tentunya penggunaan vaksin sebagai penangkalnya. WHO, telah mengabaikan perannya sebagai regulator, misalnya dengan memonitor vaksin yang diproduksi perusahaan farmasi aman atau tidak, dan malah menjadi bagian marketing (pemasaran) perusahaan vaksin.
Vaksin Covid-19, berbeda dengan vaksin-vaksin sebelumnya, menggunakan mRNA atau molekul yang disebut messenger RNA untuk memerintahkan sel-sel seseorang agar memproduksi protein tertentu dari patogen (seperti virus). Teorinya, hal ini memicu sistem imun untuk mengenali dan bereaksi terhadap protein tersebut, mempersiapkannya untuk melawan patogen yang sebenarnya, jika terpapar nanti. mRNA dipecah setelah protein dibuat, dan tidak memasuki inti sel atau mengubah DNA. Di awal kampanye tentang vaksin mRNA ini, dinyatakan bahwa mRNA akan menyatu dengan sel tubuh dalam beberapa hari, bahkan ada yang mengatakan dalam beberapa jam, dan tidak akan ditemukan lagi dalam tubuh pasien yang divaksinasi.
Dalam prakteknya, ”spike protein” (lonjakan protein) ini masih ditemukan di banyak pasien yang divaksinasi Covid-19. Bahkan sampai 709 hari setelah vaksinasi ¹).
Dan ini menimbulkan banyak masalah. Lonjakan protein ini disebut sebagai pemicu banyak kematian atau penyakit yang tadinya tidak ada tiba-tiba muncul. Beberapa penyakit yang muncul seperti peradangan pada otot jantung atau myocarditis, pembekuan darah, gagal ginjal, meninggal mendadak, kanker, dan sebagainya. Pfizer, salah satu perusahaan yang memproduksi vaksin Covid-19, menyatakan vaksinnya mempunyai efek samping yang berakibat pada 46 penyakit. ²)
Dan sedihnya kita baru tahu hal ini belakangan. Bukankah seharusnya tugas WHO dan pemerintah memberitahu efek samping sebelum mewajibkan warganya menerima vaksin? Dan membiarkan rakyatnya mempunyai hak untuk memilih divaksin atau tidak? Sayangnya keduanya tidak terjadi sebelumnya dan sepertinya akan diulang kedepan.
Berita baiknya, kesadaran tentang bahaya Vaksin Covid-19 muncul di beberapa negara. Di Jepang ,seorang anggota parlemen (Kazuhiro Haraguchi) yang juga mantan menteri dalam negeri Jepang, menyatakan, dengan bukti medis, dirinya mendapat penyakit kanker dari vaksin covid-19. Menurutnya vaksin covid-19 mRNA memicu limfoma ganas, yang telah menyebar ke amandelnya. Dia juga menyatakan bahwa tubuhnya telah disuntik dengan 2 vaksin yang ternyata berasal dari kelompok yang berbahaya. ³).
Tidak hanya itu, Kazuhiro juga mengucapkan permintaan maaf kepada rakyat Jepang bahwa dirinya telah ikut mengkampanyekan vaksin covid-19 dan telah mencelakakan banyak warga Jepang. Kazuhiro juga menyatakan, “Kita harus mengakhiri tragedi yang disebabkan oleh vaksin COVID-19 sesegera mungkin.” Peristiwa seorang pejabat negara meminta maaf dan mengakui mendapat penyakit kanker karena covid-19 patut dipuji dan ditiru oleh pejabat dinegara lain.
Di bagian dunia lain, Senat AS juga mulai 21 Mei 2025 menggelar “hearing” atau dengar pendapat, tentang vaksin-covid 19 dengan judul “Korupsi Ilmu Pengetahuan dan Badan Kesehatan Federal: Bagaimana Pejabat Kesehatan Meremehkan dan Menyembunyikan Miokarditis (pembekakan otot jantung) dan Kejadian Buruk Lainnya yang Terkait dengan Vaksin COVID-19” 4). Sebenarnya dengar pendapat yang mirip pernah dilakukan beberapa kali di senat AS, termasuk ketika memanggil Dr Fauci. Kali ini bedanya, menteri kesehatan AS (RFK Jr.) sadar akan bahaya vaksin covid-19, serta senat AS dikuasai oleh Partai Republik, partainya Presiden Trump, yang cenderung anti vaksin. Kita berharap dengar pendapat ini dapat membongkar banyak hal yang selama ini ditutup-tutupi dengan alasan misinformasi dan disinformasi.
Dua peristiwa diatas juga diharapkan menjadi inspirasi pejabat negara atau DPR negara kita atau negara lain untuk mulai berani menyatakan kebenaran dan tidak takut dengan mereka-mereka yang mendapat keuntungan dari vaksinasi Covid-19. Termasuk kita, rakyat jelata, juga harus lebih berani menyuarakan kebenaran walaupun berbeda dengan pendapat umum.
Eko Nugroho
Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia