Zurich tengah gerimis saat saya tiba, usai perjalanan panjang sekitar 17 jam lewat Abu Dhabi. Satu hal, aturan perkopitan di kota ini telah longgar. Di hotel, yang pakai masker hanya pegawainya, sementara pengunjung umumnya tidak. Di jalanan, di kafe-kafe juga umumnya, orang sudah utuh menampakkan wajahnya.
Sebetulnya ya mirup di Indonesia, di banyak tempat aturan perkopitan cuma jadi formalitas yang tak dijalankan dengan konsisten. Bagi saya jelas ini fenomena yang menggembirakan, kita tak perlu menghentikan gerak hidup gara-gara penyakit sejenis flu.
Dalam hening, saya selalu menyabdakan urusan perkopitan segera selesai. Masalah kehidupan yang lebih serius itu banyak. Jangan sampai kemampuan kita malah jadi terbatas gara-gara aturan tak rasional. Kapan kita bisa jadi Indonesia Raya yang Jaya kalo gak bisa menentukan mana yang urgen dan tidak.
Perjalanan saya kali ini, ke Zurich dan beberapa kota di Eropa, jelas bukan semacam piknik meski saya menikmatinya. Beginilah cara saya bekerja. Fisik saya mesti berkelana, berjuang menantang resiko. Harus ada susah payah secara fisik meski sejatinya jiwa tak terbatasi ruang waktu. Lewat perjalanan ini saya menyiapkan momentum bagi akselerasi peningkatan kesadaran diri, sekaligus momentum penataan energi di Bumi.
Saya belum tahu akan mengalami apa. Di Zurich saya memulai semuanya dengan berjalan-jalan menembus gerimis, dan mampir di kedai kopi yang enak buat nongkrong.
Tapi seperti biasa, akan selalu ada keajaiban, buat saya, juga buat Anda semua yang terhubung dengan saya.