Tulisan Menyambut Kolokium Spiritual Dunia
Mereka yang sedang merenungkan sekaligus membaca issue-issue strategis di bidang sosial dan kemanusiaan, sewajarnya mengenang dua nama: Samuel C. Huntington dengan tesisnya berupa “benturan peradaban” dan Fritjof Schuon yang menggagaskan perenialisme. Huntington mengungkapkan kekhawatiran. Ia bicara tentang kemungkinan berkecamuk dan memuncaknya perang ideologi, terutama Islamisme vs Kapitalisme; yang bisa memanifestasi menjadi pertarungan opini dan perang fisik antara negara-negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) dengan negara-negara Barat (AS, Uni Eropa, UK). Sementara Schuon bicara tentang solusi, tentang bagaimana umat manusia bisa mengatasi dan melampaui segala konflik atas nama agama yang bisa dikembangkan untuk melampaui konflik atas nama ideologi. Schuon mengingatkan tentang adanya kesamaan akar dan prinsip-prinsip esensial pada berbagai agama besar maupun kecil. Sehingga umat berbagai agama mestinya bisa akur dengan merujuk pada kesamaan akar dan esensi itu. Jika umat berbagai agama di satu negara bisa akur, sangatlah dimungkinkan untuk membangun perdamaian pada skala global karena akar konflik telah diminimalisir.
Mempertimbangkan pendapat Huntington maupun Schuon, saya pribadi kemudian melihat setidaknya ada dua skenario ke depan: skenario dunia yang penuh konflik dan skenario dunia yang damai. Kita yang memilih mana skenario yang terjadi, tergantung kesadaran kolektif manusia di Bumi.
Tapi kita patut bernalar secara kritis. Karena belakangan ini agama-agama bisa bersanding mesra dengan kapitalisme. Sepanjang 2020-2023 ada fenomena menarik: umat berbagai agama yang biasanya tidak kompak, dengan dimotori para petingginya, bisa bersatu padu dalam agenda bermasker dan vaksinasi massal, yang sebenarnya merupakan proyek kapitalisme dengan kemasan “pandemi yang direncanakan”. Sangat menarik, berbagai agama dengan beragam epicentrumnya bisa kompak bersama-sama menghilangkan nalar kritis dan karakter perlawanan lalu menyatakan bersetuju terhadap kebijakan dan peraturan yang sangat tidak demokratis karena non dialogis, penuh pemaksaan dan menindas suara yang berbeda. Sungguh aneh ketika di era 2023-2023 kita nyaris tak mendengar gegap gempita jihad dan aksi berbasis teologi pembebasan melawan kapitalisme destruktif yang sangat telanjang.
Pertanyaannya adalah, adakah harapan lain untuk masa depan peradaban manusia? Sebagian orang lalu menengok pada spiritualitas. Spiritualitas dianggap bisa jadi jawaban atas segenap kegelisahan. Tapi kita harus langsung mengungkapkan pertanyaan kritis: sepanjang 2020-2023, banyak tokoh spiritual dunia yang semula dielu-elukan sebagai icon perdamaian dunia, juga sama takluknya terhadap agenda pandemi yang dirancang para tuan besar kapitalisme dengan beberapa tokoh populernya: Bill Gates, Klaus Schwab dan Fauci. Apa yang bisa diharapkan dari para tokoh yang tidak punya nalar kritis dan semangat revolisioner?
Masih adakah tokoh spiritual dunia yang betul-betul punya jiwa merdeka dan punya kepedulian pada kemerdekaan umat manusia?
Inilah yang menjadi PR besar kita, mengkonsolidasi para tokoh spiritual, para intelektual, para negarawan, yang benar-benar punya komitmen pada terbangunnya tatanan dunia yang berkeadilan dan melindungi martabat manusia. Kita butuh persatuan dan kolaborasi dari orang-orang yang berani mengambil resiko untuk mempertahankan kemerdekaan berbagai bangsa yang terus menerus dirongrong oleh para neokolonialis. Kita perlu mengerti bahwa nilai paling mendasar dari spiritualitas adalah: kesataraan, keadilan, kemerdekaan dan penghargaan atas martabat manusia. Nilai-nilai tersebut hanya bisa dihayati oleh para manusia yang sungguh-sungguh menekuni jalan spiritual yang sejati, sehingga pikiran, hati dan jiwanya jadi murni, dan benar-benar bebas dari kemelekatan yang destruktif, juga merdeka dari segala bentuk pemrograman/pengendalian pikiran.
Setyo Hajar Dewantoro
Guru Spiritual, Pendiri Persaudaraan Matahari