Di era perang dingin, dunia didominasi oleh dua kekuatan besar Amerika Serikat (AS) dan Soviet (Duo polar). Masing-masing mempunyai sekutunya sendiri. AS bersekutu dengan negara-negara yang mengusung “demokrasi” dan Soviet bersekutu dengan negara-negara “komunis”. Bagi negara-negara yang merasa tidak mau mengikuti masing-masing kubu, menyebut dirinya “non-blok” yang salah satunya diprakarsai oleh Presiden RI Sukarno lewat Konferensi Bandung tahun 1955.
Setelah Soviet runtuh, maka AS menjadi satu-satunya kekuatan dunia (unipolar). Sehingga terkenal dengan slogan AS sebagai polisi dunia. AS menentukan siapa yang dianggap salah dan benar. AS dengan seenaknya bisa mengganti pemerintahan di satu negara yang tidak disukai dengan menggunakan cara tidak langsung melalui CIA atau kemudian NGO yang dikendalikan CIA atau secara langsung dengan serangan militer.
Dengan pelantikan Presiden Trump, 20 Januari 2025, menegaskan bahwa dunia sudah bergerak dari unipolar menjadi multipolar. AS dibawah kepemimpinan Presiden Trump ingin mewujudkan MAGA (Make America Great Again), dengan memikirkan kepentingan negara diatas kepentingan kelompok negara atau negara individu lain. Secara ekonomi, Trump akan memberlakukan tarif dan sanksi bagi negara-negara yang dianggap menghalangi MAGA (EU dan China/Rusia). Kita tahun Trump dengan berani keluar dari WHO dan Pakta tentang pemanasan global, melawan apa yang selama ini di “imani” Uni Eropa.
Di waktu yang bersamaan negara-negara Uni Eropa (EU) berkumpul di Davos dalam WEF (World Economic Forum). Dengan pemerintahan AS yang berganti arah, EU mulai mendeklarasikan “nilai-nilai Eropa” yang berbeda dengan AS di bawah Trump. Ursula van der Leyen mengatakan bahwa “cooperative world order” (tatanan dunia kooperatif) telah gagal (baca: AS berjalan sendiri tidak bersama EU lagi).
EU yang selama ini bergantung kepada AS, harus merubah strateginya untuk berdiri diatas kakinya sendiri. Satu perubahan besar yang tidak bisa dilakukan dalam 1-2 tahun.
EU sudah terlalu lama hidup dalam khayalan ideologi dan melupakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya. Pajak rakyat dialihkan untuk mendukung Ukraina melawan Rusia dibandingkan untuk pengembangan kompetitif industrinya. Jerman sebagai lokomotif ekonomi EU tahun 2024 mengalami pertumbuhan negatif 0.2%. Pertumbuhan negatif ini sudah terjadi sejak 2023. Jerman, bila tidak mengubah arah strateginya akan sulit keluar dari kesulitan ekonomi. Harga energi yang naik 3-4 kali lipat dan persaingan dengan Tiongkok tidak bisa dihindari. Tidak salah kalah Elon Musk bilang yang bisa menyelamatkan Jerman adalah Partai AfD yang sama sekali berbeda dengan nilai-nilai Eropa.
Hampir bersamaan, Putin (Presiden Rusia) dan Xi (Presiden Tiongkok) melakukan video conference yang mengumumkan hubungan antara dua negara akan masuk ke level yang lebih tinggi. Kita tahu, Rusia dan Tiongkok adalah lokomotif BRICS.
Dua negarawan ini menyatakan keinginan “membangun hubungan dengan Amerika Serikat atas dasar saling menguntungkan dan saling menghormati, jika tim Trump benar-benar menunjukkan minat dalam hal ini.”
Paling tidak sekarang ada blok AS, EU dan Rusia/China (BRICS). Dunia tidak lagi unipolar, duo polar tapi sudah menjadi multipolar. Akankah tetap seperti ini? Mari kita simak perubahan yang terjadi kedepan.
Eko Nugroho
Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia
lpbm2p