Saat ini saya belum jadi politisi – saya belum terlibat dalam politik praktis, belum menjadi anggota partai politik mana pun, tidak juga ikut serta dalam pemilihan legislatif dan senator, pemilihan kepala daerah apalagi pemilihan presiden. Saya hanya seorang aktivis yang memimpin perkumpulan/organisasi non pemerintah bernama Pusaka Indonesia yang bergerak dalam isu kebangsaan dalam koridor Trisakti: membangun bangsa yang berbudaya sesuai jati diri, berdikari secara ekonomi dan berdaulat secara politik.
Namun demikian saya cukup mengerti apa yang terjadi di dunia politik, baik pada skala nasional dan global. Saya cukup intensif memperhatikan, mengamati, menyelidiki, dan menganalisa beragam fenomena politik – termasuk fenomena pertarungan narasi “negara sedang darurat vs negara sedang baik-baik saja” yang diiringi demontrasi massif menentang RUU Pilkada pada 22 Agustus 2024.
Politik secara umum berkaitan dengan kekuasaan; kekuasaan berkaitan dengan privilege dalam mengatur dan mengendalikan pihak lain termasuk rakyat banyak. Padahal rakyat ini dalam sistem demokrasi dianggap sebagai “pemilik kekuasaan sesungguhnya” sehingga muncullah dalil vox populi vox dei – suara rakyat adalah suara Tuhan. Yang pasti para pemenang kontestasi politik yang kemudian menjadi penguasa pada tataran lokal, nasional hingga global, memang bisa mengatur dan mengendalikan banyak hal sesuai kemauan dan kepentingannya – hingga datangnya peristiwa kekalahan politik dimana kekuasaan direbut oleh lawan-lawan mereka.
Dulu Pak SBY sangat berkuasa di Republik ini sehingga muncul istilah Istana Cikeas sebagai Epicentrum kekuasaan politik sepanjang 2004-2014. Hingga kemudian Pak Jokowi jadi Presiden dan Partai Demokrat turun pamor, maka Pak SBY dipermalukan lewat icon “Candi Hambalang”. Selama 2014-2024, yang mengatur dan mengendalikan negara ini adalah Pak Jokowi – sementara Pak SBY hanya bisa berusaha memberi pengaruh atau mengkritik dari pinggiran. Di AS sebentar lagi Presiden Joe Biden tak akan lagi dianggap sebagaj “orang paling berkuasa di dunia” karena tiket dalam Pilpres AS 2024 telah dipindahkan kepada Sang Wapres, Kamala Harris.
Tapi uniknya, di dunia demokrasi saat ini, belum tentu seorang Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota benar-benar punya kekuasaan sesuai dengan amanat UU. Dalam banyak kasus, pemimpin yang terpilih dalam kontestasi politik tidaklah benar-benar independen dalam menjalankan kekuasaannya karena sangat dipengaruhi/diatur oleh dua pihak; pertama, King Maker (yaitu para pimpinan partai yang mengusung, juga tokoh-tokoh kuat dalam dunia politik yang turut memberi dukungan); Kedua, Para Bohir (kalangan Oligarki di tingkat lokal, nasional dan global, yang memberikan dukungan berupa dana politik yang memang sangat dibutuhkan untuk “membeli suara rakyat dalam Pemilu dan membeli loyalitas para serdadu pemenangan politik”. Jelas sebenarnya, ketika pun seorang pemimpin itu tidak benar-benar berkuasa, bukan rakyat banyak yang berkuasa – suara mereka hanya berharga saat Pemilu dan bisa dibilang suara itu sudah dibeli sehingga tak bisa lagi mengajukan tuntutan apapun. Apalagi rakyat banyak sangat gampang dipengaruhi opininya lewat propaganda berbiaya mahal lewat Media Sosisl maupun Media Arus Utama. Inliah yang saya saksikan di dunia nyata maupun di film politik seperti “Whirlwind” dan “Designated Survivor”.
Dalam sudut pandang spiritualitas, dunia politik memang jadi tampak sangat suram bahkan gelap. Orang-orang yang berkecimpung di dalamnya 97% didorong oleh motif egoistik dan punya prinsip menghalalkan semua cara untuk meraih semua ambisi dan mempertahankan semua kepentingan egoistiknya. Yang semula punya niat baik dan terkenal sebagai orang baik pun biasanya tak butuh waktu lama untuk terkontaminasi dan berubah karakternya. Inilah yang membuat dunia politik modern cenderung diliputi keangkaramurkaan; keserakahan, kelicikan, kekejaman. Maka tersohorlah kredo “Tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan”. Bagi seorang politisi, kawan dekat yang banyak jasanya pun bisa ditikam dan dijatuhkan begitu saja jika dianggap menghalangi kepentingannya. Sebaliknya musuh yang paling brutal pun bisa tiba-tiba dirangkul jika dianggap bisa berguna atau bisa diperalat untuk mencapai tujuan egoistiknya. Di dunia politik sudah lama tak ada idealisme, ideologi, apalagi etika dan moralitas yang lazimnya dipegang teguh manusia yang punya akal budi.
Di panggung politik saat ini, jelaslah yang paling berkuasa adalah yang paling pandai berstrategi, paling pandai memainkan bidak caturnya, serta paling banyak sumber dayanya untuk membeli loyalitas para serdadu politik. Orang-orang banyak yang berteriak tentang kecurangan, pelanggaran konstitusi, ataupun pelanggaran etika – bukanlah karena mereka orang-orang siap dan konsisten memegang teguh etika dan konstitusi – tapi semata-mata karena mereka secara pribadi, atau orang yang mereka dukung, kalah. Kalau mereka menang, percayalah, tak ada yang terusik oleh kecurangan, pelanggaran etika dan konstitusi, yang dilakukan oleh diri mereka sendiri atau oleh orang yang mereka dukung. Jadi, di panggung politik jelas ada satu karakter lagi yang sangat dominan yaitu kemunafikan alias standar ganda.
Dalam situasi demikian, tentu saja jadi naif jika kepentingan rakyat banyak, keberdikarian dan kedaulatan mereka, diharapkan bisa diperjuangkan oleh para politisi yang sebetulnya mengabdi pada ego dan uang. Tampaknya jadi anomali jika ada pemimpin di era demokrasi yang betul-betul berjuang untuk rakyat, yang sekaligus bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di panggung politik umumnya orang -orang diam pura-pura tak melihat ketika KKN dilakukan oleh pihak sendiri, tapi akan ribut dan heboh secara ekstrim jika dilakukan oleh pihak lawan. Para politisi yang berani tidak KKN justru menjadi musuh bersama karena berpotensi mengurangi rejeki semua pihak.
Sungguh absurd memang kalau melihat dunia politik sekarang, padahal para politisi ini mewarisi Republik dari orang-orang yang sangat punya integritas. Seperti Sultan HB IX, Bung Karno, Moh. Hatta, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantoro, Jendral Soedirman, dan para patriot lainnya.
Pertanyaan pentingnya, “Mungkinkah dunia politik kita dibenahi sehingga ia kembali menjadi wahana untuk memperjuangkan kesejahteraan dan kedaulatan rakyat?” Bisa, tapi sangat sulit. Karena memang ide ini hanya bisa terealisasi jika ada orang-orang yang telah mengalami pencerahan spiritual, bebas dari hasrat egoistik, tak lagi punya kemelekatan sekaligus tak mempan dengan bujuk rayu dan ancaman, dalam jumlah yang cukup, dengan dukungan dana super besar, lalu mereka terjun ke perpolitikan nasional dan beraliansi dengan kekuatan serupa di tingkatan global.
Hanya ini secercah harapan yang ada; dan inilah KEAJAIBAN yang sedang diperjuangkan oleh beberapa gelintir orang yang telah punya jiwa dan kesadaran murni.