Sumber Foto: Financial Times
Israel selalu diidentikkan sebagai negara yang berisi hanya orang Yahudi, padahal penduduk negara Israel tidak seluruhnya beragama Yahudi atau etnis Yahudi. Menurut statistik 2019, penduduk Israel memang 74,2% memeluk agama Yahudi. Namun terbesar kedua adalah Islam (12,8%) dan kemudian Kristen (2%), serta lainnya (6%). Pembagian penduduk Israel menurut kelompok etnis adalah 74,2% Yahudi dan 20,9% Arab dan 4,8% lainnya. Dari sini kita mempunyai pengertian yang lebih baik bahwa negara Israel tidak semua penduduknya beragama Yahudi, hanya sebagian besar beragama Yahudi. Bandingkan dengan Indonesia yang mayoritas beragama Islam (87%). Populasi negara Israel sendiri hanya 9,2 juta penduduk (sensus 2022).
Secara politik, Israel juga menganut multi partai seperti di Indonesia. Ada partai-partai masuk “electoral treshold” ke Knesset (DPRnya Israel), ada juga yang tidak masuk. Mirip dengan di Indonesia, karena tidak ada satu partai yang menguasai 51% parlemen, maka beberapa partai yang masuk electoral treshold harus berkoalisi. Dari koalisi ini ada yang masuk ke pemerintahan ada juga yang berada diluar pemerintahan atau oposisi. Hasil Pemilu 2022, partai-partai “kanan” berkoalisi dengan partai Likud (partainya Benyamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel saat ini). Sedang partai-parta yang lebih “liberal” atau nasionalis menjadi oposisi (termasuk partai “United Arab List” yang berbasis Islam). Partai Likud menjadi partai pemenang pemilu dengan merebut 32 dari 120 kursi Knesset. Disusul partai “Yesh Atid” 24/120 yang nasionalis dan menjadi oposisi. Total kursi di Knesset adalah 120 kursi dimana koalisi pemerintahan Netanyahu didukung oleh 68 kursi sedang oposisi memegang 52 kursi.
Bedanya dengan Indonesia, di Israel ada Presiden dan Perdana Menteri. Presiden Israel dipilih oleh Kensset (DPR) dan Presiden kemudian memilih salah satu anggota Knesset menjadi Perdana Menteri. Presiden di Israel adalah kepala negara yang lebih melakukan fungsi seremonial (upacara, kunjungan kenegaraan dll), sedangkan pemegang kekuasaan eksekutif pemerintah dibawah kendali Perdana Menteri. Tidak aneh bila kita lebih kenal Benjamin Netanyahu dibanding Presiden Israel saat ini: Isaac Herzog.
Bila kita melihat kebijakan Netanyahu sebagai pemerintah yang berkuasa, yang berisi koalisi partai “kanan”, tidak heran bahwa kebijakan sangat keras terhadap Palestina dan negara-negara Arab sekitarnya. Dukungan terhadap Netanyahu semakin menguat setelah peristiwa 7 Oktober 2023 dimana Hamas menyerang Israel dan menyandera 254 orang termasuk 12 warga Amerika Serikat. Yang dilanjutkan dengan melakukan genosida di Palestina dan sekarang merambah ke Lebanon. Tapi rupanya Israel sekarang mendapat perlawanan yang lebih keras dari Hezbullahh, Houthi dan perlawanan di Irak. Ditambah serangan balasan Iran yang membuka “iron dome” ternyata bisa ditembus. Roket dan drone kelompok perlawanan terlihat tidak bisa secara efektif dihalau oleh Israel. Korban prajurit IDF (Israel Defence Force) semakin meningkat. Ini semua membuat dukungan terhadap Netanyahu semakin turun. Diperkirakan 2 juta penduduk Israel telah meninggalkan negaranya. Dan tentunya, dukungan-dukungan internasional yang menolak genosida di Palestina dan Lebanon semakin meningkat. Termasuk mereka yang beragama Yahudi.
Jadi konflik Timur Tengah yang terjadi sekarang, bukan konflik antar agama, tapi konflik antar kepentingan politik di Israel. Banyak rakyat Israel yang tidak setuju dengan kebijakan Netanyahu. Sebuah wawancara mantan Perdana Menteri Isral, Ehud Olmert di CNN dapat memberi gambaran yang lebih jelas tentang pandangan sebagian rakyat Israel: “Musuh utama Israel bukan IRAN, bukan Hezbullah, bukan Hamas. Musuh utama kami adalah berasal dari dalam negeri, messianic (yang berasa menjadi bangsa pilihan), kolompok ekstremis gila di Israel yang merasa bisa mengusir rakyat Palestina dan menganeksasi tanah Palestina. Saya melawan mereka, saya melakukan kampanye melawan mereka. Pemerintah dan Netanyahu sayangnya bergantung pada kelompok ini secara politik, Netanyahu harus menutup matanya dan melakukan hal-hal yang tidak bisa ditolerir dan diterima”
Belum lama Netanyahu memecat menteri pertahanannya Yoav Gallant. Pemecatan ini memicu demonstrasi besar di Tel Aviv. Dalam pernyataannya Yoav Gallant menjelaskan kenapa dirinya berbeda pendapat dengan Netanyahu, dirinya meminta agar memberlakukan wajib militer untuk kaum Ultra Orthodox (pendukung Netanyahu), fokus pada pembebasan sandera dan investigasi menyeluruh atas peristiwa 7 Oktober 2023. Hal pertama adalah sebuah indikasi bahwa Israel semakin kekurangan tentara dan yang kedua ini sebenarnya tujuan utama genosida di Palestina tapi menjadi perluasan aneksasi Israel ke Lebanon. Yang ketiga agak aneh, sebagai menteri pertahanan harusnya Gallant lebih tahu dari orang lain. Konon memang terindikasi bahwa peristiwa 7 Oktober 2023 adalah rekayasa Israel sendiri.
Kembali lagi kita harus semakin kritis dalam melihat situasi geopolitik. Manusia pada prinsipnya sama, begitu kepentingan egonya yang diutamakan, maka segala hal bisa dijadikan kedok alasan; agama, kemanusian, pemanasan global, dan lain sebagainya.