Hipotesis maupun teori dari para saintis tentang usia peradaban manusia di Bumi, bagi saya, terlalu dimudakan. Pernyataan yang paling populer, peradaban manusia yang tertua ada di Mesopotamia 4.000 tahun SM. Mesir Kuna dinyatakan menunjukkan fase berperadaban pada 3.150 SM saat kekuatan politik Mesir Atas dan Mesir Bawah disatukan oleh Narmer, yang disebut sebagai Pharaoh dari Dinasti Pertama. Sementara itu peradaban India Kuna dinyatakan bermula pada 2.600 SM dengan adanya aktivitas di Lembah Indus – meski ada teori lain yang mempercayai peradaban India Kuna telah ada di 5.000 SM. Peradaban China Kuna dinyatakan bermula di tahun 4.000 atau 2.700 SM. Peradaban Persia dianggap lebih muda lagi karea dinyatakan baru terbentuk di 550 SM saat Cyrus membangun imperium perdana. Dan tentu saja Indonesia alias Nusantara termasuk yang paling muda peradabannya karena baru terbentuk di abad 4 M saat Kudungga membangun Kerajaan Kutai di Muara Kaman Kalimantan Timur.
Faktor-faktor yang seringkali dijadikan patokan dalam penentuan permulaan peradaban adalah perkembangan di sektor pertanian, arsitektur, teknologi, perekonomian, keberadaan peraturan perundang-undangan dan institusi politik. Sementara kelompok manusia yang masih hidup dalam corak suku yang tatanan hidupnya bersahaja dinyatakan sebagai belum berperadaban.
Pertanyaan kritis saya adalah, jika memang Bumi telah mengada sekitar 4,54 milyar tahun silam mengapa peradaban manusia baru bermula 6.000 sampai 7.000 tahun silam? Memang kapan manusia pertama ada? Apakah benar peradaban manusia (homo sapiens) adalah hasil evolusi dari keberadaan manusia purba semacam Homo Neandhertal dan Homo Wajakensis? Apakah sains tidak bisa membuka diri pada teori bahwa manusia pertama bentuknya sudah serupa dengan Homo Sapiens saat ini dan sejak semula sudah punya kemampuan berpikir yang kompleks?
Memang terlalu banyak misteri tentang awal mula manusia dan peradaban kunanya – lalu segala sesuatunya makin kabur saat kita disuguhi narasi religi yang harus dipercayai tanpa boleh dipertanyakan, plus bertebarannya mitologi dari berbagai tradisi: masing-masing ras bahkan suku di dunia ini punya mitologinya sendiri.
Saya punya pendekatan metarasional untuk membaca masa lalu. Tapi titik tekan saya adalah untuk menemukan model peradaban surgawi di masa lalu, sebagai inspirasi bagi perjuangan suci merealisasikan visi Negeri Surgawi dan Bumi Surgawi di masa kini. Pendekatan ini saya pakai karena teori sains jauh dari memuaskan; pertanyaan kritis saya juga tak ada jawabannya.
Sejauh yang bisa saya temukan di dalam keheningan, peradaban surgawi itu pernah ada dan nyata. Masing-masing kawasan punya era yang berbeda dalam pencapaian puncak peradaban yang menyatukan kemajuan spiritual dan material. Nusantara terbilang yang paling baru berpisah dengan era kejayaan/peradaban surgawinya yaitu di abad 15 M – jadi baru sekitar 600 tahun. Sementara India sudah sekitar 6000 tahun tercerabut dari akar peradaban surgawinya. Era peradaban surgawi di India terbangun saat ada Avatara Sri Krisna – dan mengalami fase kemunduran akut saat ada perang besar yang disebut Bharata Yudha. Entah bagaimana awal mulanya dua era beda corak ini disatukan dalam cerita Mahabharata gubahan Vyasa sehingga jadi terkesan aneh ketika seorang Avatara dengan kemampuan magisnya justru bertindak menjustifikasi perang besar yang berdarah-darah seolah itu adalah rencana dan ketetapan Tuhan. Bukankah Avatara hadir untuk membangun, untuk memulihkan, mencipta peradaban surgawi – dan bukannya menjustifikasi kehancuran? Sama anehnya ketika seorang Avatara diceritakan meninggal oleh panah nyasar karena menebus karma buruknya – bagaimana mungkin seseorang menjadi Avatara jika masih menyimpan karma buruk? Bagaimana pula seorang Avatara punya putra yang selalu membuat masalah yaitu Samba, dan harus menghancurkan kaumnya sendiri yaitu Yadawa yang cekcok dengan rumput eruka?
Misteri India dengan segenap pertanyaan yang tak gampang dijawab, biarlah jadi bahan renungan bagi siapapun yang mau berpikir dan berhasrat menemukan kebenaran. Kita kembali menyelami masa lalu: jika kita menengok ke Mesir Kuna, kita bisa katakan pernah ada cahaya terang di Tanah Mesir yang tak dikenali umumnya sejarawan dan dilupakan banyak orang. Di Mesir Kuna pernah ada peradaban surgawi, peradaban matahari: peradaban yang dibangun dengan landasan kesadaran murni yang bersumber dari RA Sang Matahari Jagad Raya. Pharaoh yang Agung membangun peradaban matahari yang menerangi dunia, dan kini kita mengenali jejaknya berupa Piramida di Giza.
Inilah suara yang bisa diresapi di dalam keheningan:
“Keagungan ini perlahan sirna ketika dimulainya sebuah dinasti sebagai lambang munculnya peradaban baru yang penuh dengan keakuan. Dinamika panjang yang selalu terjadi mengiringi kegelapan yang perlahan-lahan menaungi sebuah peradaban.
Maka banyak hal menjadi keliru dan abadi sebagai kisah yang melenceng jauh dari kebenaran. Tetapi tidak perlu risau. Kebenaran akan selalu kembali. Bersamaku, kebenaran akan kembali.”
“Selama bumi ini berputar dan dihuni oleh keberadaan manusia, telah berulang kali mengalami pasang surut kesadaran kolektif. Selalu ada titik puncak tertinggi dan kemudian layaknya gelombang, kembali mengalami titik terendah. Tugas kita adalah kembali menggapai titik puncak tertinggi itu kembali dan menjaga rentang titik puncak itu sepanjang yang kita mampu, sesuai rancangan agung Semesta.”
Sementara itu di Jepang, peradaban matahari ini juga pernah ada, meski realitas Sang Matahari Jagadraya dilihat dari perspektif feminin: Amaterasu. Jejak dari peradaban matahari masih kita lihat pada Shintoism dan beragam tradisi luhur lainnya di Jepang: meski kita mesti menyisihkan segala timbunan ilusi untuk menemukan esensi yang agung.
Di tanah Nusantara, peradaban matahari ribuan tahun tegak berdiri, dan tenggelam sejak abad 15 M. Tapi kita tak perlu lupa bahwa kita adalah Anak-anak Matahari.
Peradaban matahari, saatnya bangkit kembali. Matahari Kesadaran menerangi dunia dan jadilah nyata Millenium yang Agung.