Renungan Pendahuluan Menyongsong Kolokium Spiritual Dunia
Spiritualitas, sebuah kata yang bisa dipersepsi dengan beragam cara dam bisa saling bertolak belakang.
Dulu sekali, saya mempersepsi berspiritual itu ya beragama dengan sesungguh-sungguhnya. Berspiritual yang benar ya berarti menjalankan segala aturan agama yang benar. Di otak saya tertancap konsep: berspiritual itu ya tentang bertuhan; sementara Tuhan sudah membuat aturan yang pasti agar manusia selamat, tanpa mengikuti aturan itu ya manusia tak bisa dikatakan berspiritual.
Lalu saya menjadi bosan dengan agama dan sempat marah pada Tuhan. Jadi otomatis saya sempat melempar jauh-jauh soal spiritual. Tapi karena saya menjadi tak bahagia dengan perlawanan ini, saya tergerak kembali untuk menekuni jalan spiritual dengan beragama secara lebih esensial, masuk ke wilayah mistik dari agama. Lugasnya saya dulu sempat menekuni tasawuf dan ajaran thariqat, lalu dengan begitu saya telah merasa berspiritual.
Ternyata perjalanan dan persepsi saya tak mandeg di situ. Saya lalu nyemplung ke belantara “spiritual Nusantara”: saya rajin laku prihatin, tapa brata, tirta yatra, juga beritual menghormati leluhur. Di titik ini, yang tertancap di otak saya: berspiritual itu identik dengan menjalankan laku untuk menjadi sakti, untuk bisa menerawang, untuk bisa menembus dunia lain, untuk bisa bicara dengan para leluhur, dan tentu saja, untuk terbebas dari jeratan dogma agama import.
Pencarian saya berlanjut karena nyemplungnya saya ke belantara “spiritual Nusantara” belum membuat saya bahagia. Seiring dengan perkembangan kewarasan diri dan semakin termurnikannya jiwa saya, persepsi saya akan spiritualitas juga berubah. Spiritualitas kemudian terpahami sebagai jalan kesempurnaan jiwa; poros dari spiritualitas adalah laku hening/meditasi yang membawa pada pemurnian persepsi, emosi, energi dan karma.
Spiritualitas membawa penghayatnya pada penyingkapan kebenaran tentang Tuhan, jagad raya dan diri manusia. Spiritualitas menerangi pikiran manusia dan memberi jawaban atas segala pertanyaan yang semula terbentur dinding misteri. Spiritualitas mengantarkan manusia pada pencapaian kebahagiaan sejati dan hidup surgawi.
Sekarang saya dilabeli Guru Spiritual dengan wadah Persaudaraan Matahari. Apa maknanya? Setelah saya sendiri bisa betul-betul mengerti tentang arti spiritualitas, menjadi maestro dalam teknik kultivasi guna mencapai tujuan agung dalam berspiritual, dan terbukti saya juga telah mencapai tujuan agung itu, saya punya legitimasi kosmik untuk mengajarkan soal-soal spiritual kepada siapapun yang telah siap. Spiritualitas yang saya ajarkan tidak terkait dengan institusi agama apapun maupun institusi adat/tradisi apapun.
Secara praktis, saya memang menjalankan peran membimbing banyak orang untuk menekuni jalan spiritual. Peran ini telah saya jalani bertahun-tahun dan tentu saja seiring perjalanan waktu kepakaran saya juga meningkat. Supaya ada pembeda dengan beragam persepsi/penafsiran atas spiritualitas yang berkembang di masyarakat sekarang ini, ditetapkan identitas “spiritualitas murni” untuk ajaran spiritual yang saya ajarkan melalui Persaudaraan Matahari.
Uraian di atas kemudian menjadi landasan untuk mengajukan pertanyaan, saat kita hendak menggelar Kolokium Spiritual Dunia:
“Pengertian spiritualitas macam mana yang hendak kita pergunakan?”
“Siapa saja yang bisa kita kategorikan sebagai spiritualis dengan mengaju pada jawaban atas pertanyaan pertama?”
“Apa target realistis dari berkumpulnya para spiritualis dan ilmuwan yang memberi perhatian pada spiritualitas?”
Setyo Hajar Dewantoro
Pendiri dan Guru Spiritual di Persaudaraan Matahari