Skip to main content

Henry Kissinger pernah menyatakan: “It may dangerous to be America’s enemy, but to be America’s friend is fatal” (Menjadi musuh AS bisa menjadi berbahaya, tapi menjadi teman AS mematikan). Pernyataan Henry Kissinger ini menyindir pemerintahannya sendiri yang bisa secara cepat berubah sikap dalam memperlakukan negara lain. Sejarah membuktikan bahwa Shah Iran yang berteman dengan AS kemudian tumbang. Vietnam Selatan yang didukung AS habis-habisan sekarang sudah tidak lagi. Afghanistan yang demokratis dulu dibantu AS untuk mengusir Soviet/Rusia, sekarang jatuh ke pemerintahan Taliban. Atau yang dalam proses, pemerintah Ukraina dibawah Zelensky yang sebelumnya didorong oleh pemerintah AS, sekarang pelan-pelan dukungan ini mengering dan menunggu waktu untuk menyerah kepada Rusia. 

Pernyataan Henry Kissinger ini juga masih relevan dengan Presiden Trump yang memberlakukan tarif ke semua negara. Negara yang dianggap sebagai musuh (atau dalam proses menjadi bekas musuh) seperti Rusia mendapat tarif rendah, sedang negara-negara “teman” AS seperti Eropa dan hampir di semua negara di Asia mendapat tarif yang relatif tinggi. 

Untuk Rusia sebenarnya mudah dijelaskan. Apa yang mau diberi tarif lebih kalau barang-barangnya sudah kena sanksi dan tidak bisa masuk ke AS?

Mencari justifikasi ekonomi tindakan perang dagang AS di bawah pemerintahan Trump ini memang sulit. AS yang tadinya mempromosikan perdagangan bebas tiba-tiba bersikap sangat protektif. Penentuan jumlah tarif yang hanya berdasarkan defisit/surplus negara perdagangan (dan hanya barang tidak termasuk jasa) tidak ada dalam ilmu ekonomi. Tidak masuknya jasa dalam formula tarif berarti surplus AS atas keuntungan penggunaan software seperti Youtube, Microsoft, Instagram, dan sebagainya, atau pendapatan dari jasa finansial tidak dihitung. Artinya nilai defisit neraca perdagangan yang sebenarnya antara AS dan masing-masing negara bisa lebih rendah.

Bahkan Elon Musk, pendukung setia Trump, konon tidak setuju dengan kebijaksanaan ini. Elon pernah memposting di akun X nya tentang pernyataan Milton Friedman bahwa “hargalah” yang menyatukan banyak negara melakukan perdagangan bersama bukan karena tekanan pemerintah. Friedman dalam video ini memberikan contoh sebuah pensil yang dibuat dari berbagai bahan baku dari berbagai negara dan bisa menjadi benda bernama pensil karena “harga” (kekuatan pasar bebas). 1)

Pengenaan tarif ini bisa dikatakan lebih sebagai sarana untuk menegosiasikan ulang tarif negara lain agar barang-barang AS bisa masuk ke negara tersebut. Sebagai negara konsumen terbesar di dunia, Trump beranggapan bahwa AS akan bisa “memaksa”  negara-negara lain membuka pintu proteksi mereka. 

Seperti kita ketahui, kebijakan ini kemudian menimbulkan turunnya pasar saham di seluruh dunia dan penurunan mata uang USD. Dan yang kemudian disusul dengan bunga obligasi pemerintah AS yang melonjak naik dan “memaksa” (atau memang skenarionya begitu) Trump menunda pengenaan tarif tersebut selama  tiga bulan sambil bernegosiasi dengan setiap negara. 

China adalah negara besar yang diharapkan Trump untuk bisa segera bernegosiasi. Tapi alih-alih bernegosiasi, China malah menabuh bendera perang dagang dan melawan tarif dengan membalas menaikkan tarif kepada produk AS. China rupanya sudah belajar banyak ketika tarif mulai dikenakan saat pemerintahan Trump pertama dan dilanjutkan pemerintahan Biden. Kali ini, China telah mempunyai banyak alternatif pembelian barang-barang dari AS seperti: minyak bumi dibeli dari Kanada, kedelai dari Brazil dan daging dari Australia. Bahkan China membatalkan pembelian pesawat komersial dan suku cadang dari Boeing (179  pesawat jet) dan berencana menggantikannya dengan Airbus dan memproduksi pesawat sendiri buatan dalam negeri (Comac). 2)

Trump juga mendapat tekanan dari industri teknologi seperti Apple dan teman-temannya, yang kemudian mengurungkan pengenaan tarif untuk beberapa barang dari China seperti: HP, komputer dan chip yang nilainya 30% dari total impor AS dari China (penurunan tarif dari 145% menjadi 0%). 

Melihat fakta-fakta ini rasanya perang dagang semakin meruncing. Presiden China, Xi Jinping baru saja mengunjungi Vietnam, Kamboja dan Malaysia untuk menunjukkan dunia kedekatannya dengan negara-negara ASEAN.

Namun, saya cenderung melihat semua ini adalah bagian dari strategi jangka pendek Trump untuk menciptakan disrupsi dan menuju tatanan dunia yang lebih baik. MAGA (Make America Great Again) sebagai tujuan pemerintahan Trump, tidak akan tercapai tanpa dunia yang stabil dan kepastian, Trump sebagai pengusaha tahu betul hal ini. Dan itu bisa tercapai bila AS dan China bisa bekerja sama dan terjadi kesepahaman yang harmoni, secara nominal dua negara ini menguasai sekitar 43% ekonomi dunia. 3)

Bagaimana pendapat anda?

Eko Nugroho

Wakil Ketua Umum Pusaka Indonesia

Sumber foto: William Pearce/The Nightly

1). https://x.com/globaltimesnews/status/1909848261349065203 

2). https://x.com/BonkDaCarnivore/status/1912242419464020170 

3). https://statisticstimes.com/economy/united-states-vs-china-economy.php#google_vignette