Skip to main content

Dalam hitungan hari, semenjak tulisan ini dibuat, Pak Joko Widodo akan meletakkan jabatan paling prestisius di Republik Indonesia: Presiden. Dia akan kembali jadi rakyat, sementara jabatan Presiden akan dipegang oleh Pak Prabowo Subianto, yang dalam 2 serial Pemilu menjadi lawan beratnya. Pasti ada yang usil bertanya, “Apakah setelah Pak Jokowi tidak menjadi Presiden Indonesia akan mengalami post power syndrome – gejala gangguan psikologis akibat tak lagi punya jabatan, kekuatan, wewenang, dan segala privilege yang melekat?”

Saya tidak tahu. Waktu yang akan membuktikan. Tapi jika melihat peta politik saat ini, Pak Jokowi tak akan kehilangan pengaruh seluruhnya dan sepenuhnya karena anaknya Gibran Rakabuming Raka sudah dipasang sebagai Wakil Presiden. Saat yang sama beberapa orang dekatnya juga menjadi Ketua Partai, termasuk yang paling heboh beritanya karena tiba-tiba melengserkan pejabat lama: Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Saya justru hendak membahas soal post power syndrom ini dari sudut pandang ajaran spiritual murni. Apakah post power syndrome harus dialami semua pejabat yang lengser? Mengapa pula harus mengalami post power syndrom?

Bertahun-tahun lalu saya membaca buku kecil yang bagus karya Ken M Keith berjudul 10 Paradoxical Commandment. Di antara yang menarik, ia membahas: “teman palsu, teman posisional, musuh sejati”. Saat Anda punya jabatan strategis dan dipandang kuat, akan banyak orang mendekat dan berlaku sebagai teman baik. Bahkan orang yang sebenarnya membenci Anda bisa berlaku manis di hadapan Anda. Banyak orang ingin berteman dengan Anda karena ingin mendapatkan manfaat dari jabatan Anda. Nah, ketika Anda tak lagi punya jabatan strategis, teman-teman kategori ini pasti menjauhi Anda dan merapat ke pejabat baru. Para pembenci juga mulai memperlihatkan watak aslinya karena mereka sudah tak takut dan tak butuh Anda lagi.

Saat Anda lengser lalu tak punya jabatan apapun, baru Anda akan tahu siapa sesungguhnya teman sejati dan para loyalis yang sesungguhnya. Teman sejati, para loyalis yang sesungguhnya, peduli pada diri Anda bukan jabatan Anda. Mereka akan bersama Anda tak peduli bagaimanapun keadaan Anda, sedang jaya atau sedang mundur.

Jika kita menjadi penekun ajaran spiritual murni, tentu saja tidak layak mengalami post power syndrome. Hidup kita jelas bermakna bukan karena jabatan: justru karena kita punya karakter luhur maka jabatan yang kita pegang jadi bermakna, jadi bermanfaat buat banyak orang. Jikapun kita tak memegang jabatan apapun, kita tetap ada dalam rasa hidup bermakna karena kita mensyukuri anugerah hidup sepanjang waktu, kita juga terus melakukan segala yang terbaik di setiap detik kehidupan yang kita lalui. Kita tetap bahagia dengan atau tanpa jabatan apapun karena mengerti bagaimana cara mengakses energi kebahagiaan di relung hati.

Orang-orang yang mempraktikkan ajaran spiritual murni dengan poros keheningan, jelas sadar betul bahwa kemuliaan diri tak ada kaitannya dengan jabatan, tapi ditentukan oleh kemurnian jiwa dan mahakarya yang dicipta. Lebih jauh, jika kita berada dalam kesadaran murni, kita sama sekali tak akan punya ambisi pada jabatan apalagi terjebak dalam ilusi: dengan menggenggam jabatan yang kita inginkan kita akan bahagia.

Di jalan keheningan, kita dibimbing untuk menjadi realistis, bebas dari segala prasangka yang umumnya tak sesuai kenyataan. Kita memperlakukan jabatan sebagai tanggung jawab jika itu menjadi jatah kita – kita menerima dan menjalankannya sepenuh hati jika kita memang menjadi yang paling layak atas jabatan itu. Lalu kita tetap sukacita ketika jabatan itu harus diserahkan kepada generasi penerus atau kepada siapapun yang layak. Tak ada kemelekatan pada jabatan beserta seluruh fasilitas yang mengiringinya. Kita juga tak akan sedih saat banyak teman menjauh karena kita sudah mengerti mana teman sejati, mana pula teman palsu dan teman posisional.

Kita tentu boleh berharap, setelah 20 Oktober 2024, Pak Jokowi tidak mengalami post power syndrome. Tapi benar-benar legawa melepas jabatan yang sudah diemban 10 tahun dan memulai karya dan peran baru untuk Republik Indonesia.

Setyo Hajar Dewantoro

The Architect of Civilization, The Alchemist, The Game Changer

One Comment

Leave a Reply