Skip to main content

Tidak dipungkiri, peran media sangat penting dalam membentuk opini masyarakat. Dalam banyak hal, masyarakat menggantungkan media sebagai satu-satunya sumber berita dalam menentukan opini, pendapat, rencana yang akan diambil baik yang receh seperti ramalan cuaca besok sampai memilih presiden yang sesuai. Untuk itu peran wartawan sebagai penyampai berita bertanggung jawab atas akurasi dari berita yang disampaikan. Di Indonesia kita mengenal dengan apa yang disebut kode etik jurnalistik dimana pasal 1 menyebutkan bahwa wartawan Indonesia diharapkan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Atau di tingkat internasional ada kode etik dari Society of Professional Journalist (SPJ) yang menganut prinsip-prinsip: seek truth and report it (mencari kebenaran dan menyampaikannya), minimize harm (minimalisaikan kerusakan), act independently (bersikap independen), be accountable and transparent (bertanggung jawab dan transparan).

Kode etik ini semakin lama semakin luntur. Wartawan tidak lagi bekerja sesuai dengan kode etiknya tapi bekerja untuk menyelamatkan pekerjaannya (baca: perutnya). Mereka menyampaikan berita sesuai keinginan redaksi yang tentunya menyesuaikan dengan keinginan CEO atau pemilik media. Sudah jarang ditemukan seorang wartawan mengungkap skandal bosnya atau berani mengungkapkan kebenaran walaupun berbeda dengan kebenaran umum. Beberapa wartawan yang memang vokal akhirnya berakhir keluar dari media besar dan memulai mendirikan media independen (Tucker Carlson keluar dari Fax) atau keluar dari media besar seperti Chris Cuomo yang pernah bekerja di CNBC, CNN dan ABC dan kemudian bekerja di NewsNation. Dan menjadi wartawan independen menjadi sangat sulit seperti Tucker Carlson yang sempat dipersulit pemerintah AS ketika akan mewawancarai Presiden Rusia, Vladimir Putin. Bahkan wawancara ini ditayangkan diawalnya di lamannya sendiri dan X sebelum akhirnya oleh YT dan media besar lainnya.

Dalam perkembangannya, media barat juga semakin terkonsentrasi kepemilikannya oleh orang-orang itu-itu lagi, Kita lihat bagaimana kepemilikian media di AS yang tadinya dimiliki oleh 50 perusahaan ditahun 1983 menjadi 6 perusahaan di tahun 2011. Kepemilikian diatas telah berubah sejak tahun 2011 tapi tetap dimiliki oleh 6 group. Dan kita bisa menebak, sebagian dari pemilik media diatas adalah perusahaan investasi seperti Blackrock, Vanguard dan State Street. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa kepentingan pemilik modal yang akan menentukan seorang wartawan menulis apa, bagaimana cara menulisnya, kapan disampaikan dengan tujuan utama mengamankan kepentingannya.

Tidak heran kita semua “dibutakan” oleh fakta perang Ukraina dan Rusia yang narasinya adalah “aneksasi” Rusia oleh Ukraina tahun 2022. Padahal jelas sejarah mencatat AS yang mencaplok negara-negara eks-Soviet menjadi anggota NATO padahal perjanjian antara AS dan Soviet mengharuskan AS tidak menjadikan negara-negara tersebut menjadi anggota NATO. Sebagai jurnalis yang independen, harusnya fakta-fakta ini diungkapkan. Faktanya, media besar hanya menyajikan setengah kebenaran yang diinginkan oleh pemilik modal. Kenapa? Karena pemilik modal media massa adalah pemilik modal industri senjata AS. Perang adalah pendapatan tambahan pemilik modal industri senjata AS.

Contoh lain adalah bagaimana media besar AS membutakan fakta-fakta perpolitikan yang terjadi di Timur Tengah dan membuat rakyat AS sangat pro Israel. Mulai dari Holywood yang selalu mencitrakan Arab sebagai “teroris” sampai tentunya media-media besar menutup fakta-fakta kekejaman Israel (Netanyahu) dalam “mempertahankan eksistensi bangsa Israel”. Memang jadi sangat tidak logis bagaimana pemerintah AS lebih membela Israel (negara lain) dan “menindas” protes (demonstrasi) mahasiswa dan professor di kampus-kampus terkenal yang notabene banyak warga negara AS. Narasi-narasi pro Israel yang masif membuat rakyat AS tidak lagi dengan jelas melihat mana yang salah dan benar. Pro Palestina sudah pasti dianggap negatif di AS.

Inilah salah satu contoh bagaimana media bisa mempengaruhi (menggiring) opini masyarakat. Bahkan mantan menteri dalam negeri AS John Kerry (di masa Barrack Obama) mengatakan, first ammendmen (konstitusi AS yang memberikan kebebasan hak berbicara) harus diubah untuk menyetop “disinformasi” yang terjadi .

Untunglah ada media independen yang masih waras dengan memberikan berita yang seimbang seperti X (ex-twitter), Rumble, RT (Russian Today), dll. Tidak heran juga, media-media independen ini mulai diincar karena dianggap memberitakan informasi yang tidak benar (disinformasi). Untuk itu, menjadi penting bagi kita untuk selalu melakukan cek dan ricek dan tidak mudah percaya atas berita yang diberitakan oleh media besar.

Leave a Reply